watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita sexs
Perawanku diambil oleh papa tiriku

Cerita ini berawal dari kenakalan papa tiri dan
kepasrahan diriku. Perkenalkan namaku Vina, usiaku
16 tahun. Aku sekarang duduk di kelas II SMU di
Medan.
Suatu hari aku mendapat pengalaman yang
tentunya baru untuk gadis seukuranku. Oya, aku
gadis keturunan Cina dan Pakistan. Sehingga wajar
saja kulitku terlihat putih bersih dan satu lagi, ditaburi
dengan bulu-bulu halus di sekujur tubuh yang tentu
saja sangat disukai lelaki. Kata teman-teman, aku ini
cantik lho.
Memang siang ini cuacanya cukup panas, satu
persatu pakaian yang menempel di tubuhku
kulepas. Kuakui, kendati masih ABG tetapi aku
memiliki tubuh yang lumayan montok. Bila melihat
lekuk-lekuk tubuh ini tentu saja mengundang jakun
pria manapun untuk tersedak. Dengan rambut
kemerah-merahan dan tinggi 167 cm, aku tampak
dewasa. Sekilas, siapapun mungkin tidak percaya
kalau akuadalah seorang pelajar. Apalagi bila
memakai pakaian casual kegemaranku. Mungkin
karena pertumbuhan yang begitu cepat atau
memang sudah keturunan, entahlah. Tetapi yang
jelas cukup mempesona, wajah oval dengan leher
jenjang, uh.. entahlah.
Pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah, seperti
biasanya aku berpamitan dengan kedua orangtuaku.
Cium pipi kiri dan kanan adalah rutinitas dan menjadi
tradisi di keluarga ini. Tetapi yang menjadi
perhatianku siang ini adalah ciuman Papa. Seusai
sarapan pagi, ketika Mama beranjak menuju dapur,
aku terlebih dahulu mencium pipi Papa. Papa Robi
(begitu namanya) bukan mencium pipiku saja, tetapi
bibirku juga. Seketika itu, aku sempat terpaku
sejenak. Entah karena terkejut untuk menolak atau
menerima perlakukan itu, aku sendiri tidak tahu.
Papa Robi sudah setahun ini menjadi Papa tiriku.
Sebelumnya, Mama sempat menjanda tiga tahun.
Karena aku dan kedua adikku masih butuh seorang
ayah, Mama akhirnya menikah lagi. Papa Robi
memang termasuk pria tampan. Usianya pun baru
38 tahun. Teman-teman sekolahku banyak yang
cerita kalau aku bersukur punya Papa Robi.
"Salam ya sama Papa kamu.." ledek teman-
temanku.
Aku sendiri sebenarnya sedikit grogi kalau berdua
dengan Papa. Tetapi dengan kasih sayang dan
pengertian layaknya seorang teman, Papa pandai
mengambil hatiku. Hingga akhirnya aku sangat
akrab dengan Papa, bahkan terkadang kelewat
manja. Tetapi Mama tidak pernah protes, malah dia
tampak bahagia melihat keakraban kami.
Tetapi ciuman Papa tadi pagi sungguh diluar
dugaanku. Aku memang terkadang sering melendot
sama Papa atau duduk sangat dekat ketika
menonton TV. Tetapi ciumannya itu lho. Aku masih
ingat ketika bibir Papa menyentuh bibir tipisku.
Walau hanya sekejab, tetapi cukup membuat bulu
kudukku merinding bila membayangkannya.
Mungkin karena aku belum pernah memiliki
pengalaman dicium lawan jenis, sehingga aku
begitu terkesima.
"Ah, mungkin Papa nggak sengaja.." pikirku.
Esok paginya seusai sarapan, aku mencoba untuk
melupakan kejadian kemarin. Tetapi ketika aku
memberikan ciuman ke Mama, Papa beranjak dari
tempat duduknya dan menuju kamar. Mau tidak
mau kuikuti Papa ke kamar. Aku pun segera berjinjit
untuk mencium pipi Papa. Respon Papa pun kulihat
biasa saja. Dengan sedikit membungkukkan tubuh
atletisnya, Papa menerima ciumanku. Tetapi setelah
kucium kedua pipinya, tiba-tiba Papa mendaratkan
bibirnya ke bibirku. Serr.., darahku seketika berdesir.
Apalagi bulu-bulu kasarnya bergesekan dengan bibir
atasku. Tetapi entah kenapa aku menerimanya,
kubiarkan Papa mengulum lembut bibirku.
Hembusan nafas Papa Robi menerpa wajahku.
Hampir satu menit kubiarkan Papa menikmati
bibirku.
"Baik-baik di sekolah ya.., pulang sekolah jangan
keluyuran..!" begitu yang kudengar dari Papa.
Sejak kejadian itu, hubungan kami malah semakin
dekat saja. Keakraban ini kunikmati sekali. Aku sudah
dapat merasakan nikmatnya ciuman seorang lelaki,
kendati itu dilakukan Papa tiriku, begitu yang tersirat
dalam pikiranku. Darahku berdesir hangat bila kulit
kami bersentuhan.
Begitulah, setiap berangkat sekolah, ciuman ala Papa
menjadi tradisi. Tetapi itu rahasia kami berdua saja.
Bahkan pernah satu hari, ketika Mama di dapur, aku
dan Papa berciuman di meja makan. Malah aku
sudah berani memberikan perlawanan. Lidah Papa
yang masuk ke rongga mulutku langsung kuhisap.
Papa juga begitu. Kalau tidak memikirkan Mama
yang berada di dapur, mungkin kami akan
melakukannya lebih panas lagi.
Hari ini cuaca cukup panas. Aku mengambil inisiatif
untuk mandi. Kebetulan aku hanya sendirian di
rumah. Mama membawa kedua adikku liburan ke
luar kota karena lagi liburan sekolah. Dengan hanya
mengenakan handuk putih, aku sekenanya menuju
kamar mandi. Setelah membersihkan tubuh, aku
merasakan segar di tubuhku.
Begitu hendak masuk kamar, tiba-tiba satu suara
yang cukup akrab di telingaku menyebut namaku.
"Vin.. Vin.., Papa pulang.." ujar lelaki yang ternyata
Papaku.
"Kok cepat pulangnya Pa..?" tanyaku heran sambil
mengambil baju dari lemari.
"Iya nih, Papa capek.." jawab papa dari luar.
"Kamu masak apa..?" tanya papa sambil masuk ke
kamarku.
Aku sempat kaget juga. Ternyata pintu belum
dikunci. Tetapi aku coba tenang-tenang saja. Handuk
yang melilit di tubuhku tadinya kedodoran, aku
ketatkan lagi. Kemudian membalikkan tubuh. Papa
rupanya sudah tiduran di ranjangku.
"Ada deh..," ucapku sambil memandang Papa
dengan senyuman.
"Ada deh itu apa..?" tanya Papa lagi sambil
membetulkan posisi tubuhnya dan memandang ke
arahku.
"Memangnya kenapa Pa..?" tanyaku lagi sedikit
bercanda.
"Nggak ada racunnya kan..?" candanya.
"Ada, tapi kecil-kecil.." ujarku menyambut canda
Papa.
"Kalau gitu, Papa bisa mati dong.." ujarnya sambil
berdiri menghadap ke arahku.
Aku sedikit gelagapan, karena posisi Papa tepat di
depanku.
"Kalau Papa mati, gimana..?" tanya Papa lagi.
Aku sempat terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Lho.., kok kamu diam, jawab dong..!" tanya Papa
sambil menggenggam kedua tanganku yang
sedang memegang handuk.
Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Bukan jawabannya yang membuatku
diam, tetapi keberadaan kami di kamar ini. Apalagi
kondisiku setengah bugil. Belum lagi terjawab,
tangan kanan Papa memegang daguku, sementara
sebelah lagi tetap menggenggam tanganku dengan
hangat. Ia angkat daguku dan aku menengadah ke
wajahnya. Aku diam saja diperlakukan begini.
Kulihat pancaran mata Papa begitu tenangnya. Lalu
kepalanya perlahan turun dan mengecup bibirku.
Cukup lama Papa mengulum bibir merahku.
Perlahan tetapi pasti, aku mulai gelisah. Birahiku
mulai terusik. Tanpa kusadari kuikuti saja keindahan
ini.
Nafsu remajaku mulai keluar ketika tangan kiri Papa
menyentuh payudaraku dan melakukan remasan
kecil. Tidak hanya bibirku yang dijamah bibir tebal
Papa. Leher jenjang yang ditumbuhi bulu-bulu halus
itu pun tidak luput dari sentuhan Papa. Bibir itu
kemudian berpindah ke telingaku.
"Pa.." kataku ketika lidah Papa masuk dan
menggelitik telingaku.
Papa kemudian membaringkan tubuhku di atas
kasur empuk.
"Pa.. nanti ketahuan Mama.." sebutku mencoba
mengingatkan Mama.
Tetapi Papa diam saja, sambil menindih tubuhku,
bibirku dikecupnya lagi. Tidak lama, handuk yang
melilit di tubuhku disingkapkannya.
"Vina, tubuh kamu sangat harum.." bisik Papa
lembut sambil mencampakkan guling ke bawah.
Dalam posisi ini, Papa tidak puas-puasnya
memandang tubuhku. Bulu halus yang membalut
kulitku semakin meningkatkan nafsunya. Apalagi
begitu pandangannya mengarah ke payudaraku.
"Kamu udah punya pacar, Vin..?" tanya Papa di
telingaku.
Aku hanya menggeleng pasrah.
Papa kemudian membelai dadaku dengan lembut
sekali. Seolah-olah menemukan mainan baru, Papa
mencium pinggiran payudaraku.
"Uuhh..," desahku ketika bulu kumis yang dipotong
pendek itu menyentuh dadaku, sementara tangan
Papa mengelus pahaku yang putih. Puting susu
yang masih merah itu kemudian dikulum.
"Pa.. oohh.." desahku lagi.
"Pa.. nanti Mamm.." belum selesai kubicara, bibir
Papa dengan sigap kembali mengulum bibirku.
"Papa sayang Vina.." kata Papa sambil
memandangku.
Sekali lagi aku hanya terdiam. Tetapi sewaktu Papa
mencium bibirku, aku tidak diam. Dengan panasnya
kami saling memagut. Saat ini kami sudah tidak
memikirkan status lagi. Puas mengecup putingku,
bibir Papa pun turun ke perut dan berlabuh di
selangkangan. Papa memang pintar membuatku
terlena. Aku semakin terhanyut ketika bibir itu
mencium kemaluanku. Lidahnya kemudian
mencoba menerobos masuk. Nikmat sekali rasanya.
Tubuhku pun mengejang dan merasakan ada
sesuatu yang mengalir cepat, siap untuk
dimuntahkan.
"Ohh, ohh.." desahku panjang.
Papa rupanya tahu maniku keluar, lalu dia
mengambil posisi bersimpuh di sebelahku. Lalu
mengarahkan tanganku ke batang kemaluannya.
Kaget juga aku melihat batang kemaluannya Papa,
besar dan tegang. Dengan mata yang sedikit
tertutup, aku menggenggamnya dengan kedua
tanganku. Setan yang ada di tubuh kami seakan-
akan kompromi. Tanpa sungkan aku pun
mengulum benda itu ketika Papa mengarahkannya
ke mulutku.
"Terus Vin.., oh.. nikmatnya.." gumamnya.
Seperti berpengalaman, aku pun menikmati
permainan ini. Benda itu keluar masuk dalam
mulutku. Sesekali kuhisap dengan kuat dan
menggigitnya lembut. Tidak hanya Papa yang
merasakan kenikmatan, aku pun merasakan hal
serupa. Tangan Papa mempermainkan kedua
putingku dengan tangannya.
Karena birahi yang tidak tertahankan, Papa akhirnya
mengambil posisi di atas tubuhku sambil mencium
bibirku dengan ganas. Kemudian kejantanannya
Papa menempel lembut di selangkanganku dan
mencoba menekan. Kedua kakiku direntangkannya
untuk mempermudah batang kemaluannya masuk.
Perlahan-lahan kepala kontol itu menyeruak masuk
menembus selaput dinding vaginaku.
"Sakit.. pa.." ujarku.
"Tenang Sayang, kita nikmati saja.." jawabnya.
Pantat Papa dengan lembut menekan, sehingga
penis yang berukuran 17 cm dan berdiameter 3 cm
itu mulai tenggelam keseluruhan.
Papa melakukan ayunan-ayunan lagi. Kuakui, Papa
memang cukup lihai. Perasaan sakit akhirnya
berganti nikmat. Baru kali ini aku merasakan
kenikmatan yang tiada taranya. Pantas orang bilang
surga dunia. Aku mengimbangi kenikmatan ini
dengan menggoyang-goyangkan pantatku.
"Terus Vin, ya.. seperti itu.." sebut Papa sambil
mempercepat dorongan penisnya.
"Papa.. ohh.., ohh.." renguhku karena sudah tidak
tahan lagi.
Seketika itu juga darahku mengalir cepat, segumpal
cairan putih meleleh di bibir vaginaku. Kutarik leher
Papa hingga pundaknya kugigit keras. Papa semakin
terangsang rupanya. Dengan perkasa dikuasainya
diriku.
Vagina yang sudah basah berulangkali diterobos
penis papa. Tidak jarang payudaraku diremas dan
putingku dihisap. Rambutku pun dijambak Papa.
Birahiku kembali memuncak. Selama tiga menit
kami melakukan gaya konvensional ini. Tidak
banyak variasi yang dilakukan Papa. Mungkin karena
baru pertama kali, dia takut menyakitiku.
Kenikmatan ini semakin tidak tertahankan ketika kami
berganti gaya. Dengan posisi 69, Papa masih
perkasa. Penis Papa dengan tanpa kendali keluar
masuk vaginaku.
"Nikmat Vin..? Ohh.. uhh.." tanyanya.
Terus terang, gaya ini lebih nikmat dari sebelumnya.
Berulangkali aku melenguh dan mendesah
dibuatnya.
"Pa.. Vina nggak tahan.." katakuku ditengah
terjangan Papa.
"Sa.. sa.. bar Sayang.., ta.. ta.. han dulu.." ucap
Papa terpatah-patah.
Tetapi aku sudah tidak kuat lagi, dan untuk ketiga
kalinya aku mengeluarkan mani kembali.
"Okhh.. Ohkk.. hh..!" teriakku.
Lututku seketika lemas dan aku tertelungkup di
ranjang. Dengan posisi telungkup di ranjang
membuat Papa semakin belingsatan. Papa semakin
kuat menekan penisnya. Aku memberikan ruang
dengan mengangkat pantatku sedikit ke atas. Tidak
berapa lama dia pun keluar juga.
"Okhh.. Ohh.. Ohk.." erang Papa.
Hangat rasanya ketika mani Papa menyiram lubang
vaginaku.
Dengan peluh di tubuh, Papa menindih tubuhku.
Nafas kami berdua tersengal-sengal. Sekian lama
Papa memelukku dari belakang, sementara mataku
masih terpejam merasakan kenikmatan yang baru
pertama kali kualami. Dengan penis yang masih
bersarang di vaginaku, dia mencium lembut leherku
dari belakang.
"Vin, Papa sayang Vina. Sebelum menikahi
Mamamu, Papa sudah tertarik sama Vina.." ucap
Papa sambil mengelus rambutku.
Mama dan adikku, tiga hari di rumah nenek. Selama
tiga hari itu pula, aku dan Papa mencari kepuasan
bersama. Entah setan mana yang merasuki kami,
dan juga tidak tahu sudah berapa kali kami
lakukannya. Terkadang malam hari juga, walaupun
Mama ada di rumah. Dengan alasan menonton bola
di TV, Papa membangunkanku, yang jelas
perbuatan ini kulakukan hingga sekarang.
End


Adult | GO HOME | Exit
2/6451
U-ON

inc Powered by Xtgem.com