watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

WINDU

“Prologue”
“Heehh..!” Windu menghela nafas panjang.
Gontai melangkah menelusuri trotoar sepanjang
jalan By-pass di depan Jayabaya. Langit
bertambah gelap, yang tersisa hanya guratan
jingga di ufuk barat.
“Belum pernah beginian yah..? Wah, masih
perjaka doong..? Tenang mas, pelan-pelan saja..
Jangan gugup gitu ahh..” masih teringat kata-kata
wanita di panti pijat tadi, dengan senyum yang
menggoda tapi ditafsirkannya sebagai sindiran.
“Hei, cowok..!” Windu terkejut mencari sumber
suara yang terdengar aneh itu. Sesosok tubuh
tinggi semampai sedang berdiri di dekat halte
sambil tersenyum padanya.
“Ditemenin yuk..!” sosok tinggi bak peragawati itu
mengedipkan mata.
“Bangsat! Bencong!” makinya.
“Heii.. cakep.. ayoo doong.. Suka nyepong kan?”
Windu mempercepat langkahnya sambil terus
memaki dalam hati. Suara aneh itu masih terus
memanggil. Kini ia mulai tertawa terbahak-bahak.
Tawa yang juga ditafsirkannya sebagai ledekan
atas apa yang baru saja dilakukannya. Lari! Ia lari
meninggalkan seorang wanita pemijat yang
sedang tergolek telanjang bulat di atas dipan di
sebuah panti pijat di kawasan Jakarta Timur.
Peristiwa itu berulang kembali di benaknya, bak
film-film BF yang bosan ditontonnya.
Episode 1: Malam Keparat
“Malam pak.. Belum pernah ke sini yah?”
resepsionis di panti pijat itu tersenyum pada
Windu yang masih agak kikuk. Mau keluar, malu.
Sudah terlanjur ada di dalam.
“AC atau biasa?” wanita setengah baya itu kembali
bertanya.
“Ehmm.. AC boleh..” Windu memberat-beratkan
suaranya agar terdengar berwibawa. Tapi yang
keluar justru suara gemetar.
“Silakan pak..” si resepsionis itu berjalan ke arah
dalam ruangan, Windu mengikuti dari belakang,
menelusuri lorong yang diterangi lampu
temaram. Kiri kanan terlihat kamar-kamar yang
hanya ditutupi selembar hordeng yang warnanya
tidak jelas. Di depan sejumlah kamar ada
sepasang selop menggeletak.
Mereka sampai di ujung lorong. Di sebelah kanan
ada tangga kayu yang menuju ke atas, sementara
di dekat anak tangga, sejumlah wanita dengan
dandanan menor sedang duduk sambil ngobrol.
Obrolan mereka terhenti saat Windu dan si
resepsionis melewati mereka dan berbelok
menaiki tangga kayu.
“Wi.. buat aku doong!” beberapa di antara mereka
menegur si resepsionis yang ternyata bernama
Dewi. Windu hanya tersenyum kaku sambil terus
naik ke atas tangga, berbelok ke kiri menuju
deretan kamar berpintu. Dewi, si resepsionis
membuka salah satu pintu, menyalakan lampu
dan AC yang bunyinya sudah seperti mesin
diesel. Windu berdiri kikuk di depan pintu.
“Sempat lihat yang duduk-duduk tadi, pak?
Mungkin ada yang ditaksir, atau mau saya
pilihkan saja?” tawar Dewi.
Dewi mendekati ujung tangga, matanya melirik
ke bawah lalu melihat ke arah Windu.
“Itu Wiwit, anak Malang. Baru sebulan di sini.
Kalau yang lagi merokok itu sudah senior.
Namanya Nani. Pijitannya terkenal enak. Kalau
mau servis ekstra langsung ke mereka. Bisa
tawar-tawaran kok, pak..! Nah, yang itu, Titi, anak
Sukabumi.. Kalau untuk servis ekstra, Titi ini
jagonya. Pijatannya juga oke punya.” Dewi
nyerocos mempromosikan wanita-wanita yang
sedang ngobrol di bawah.
“Yang bagus deh.. ” Windu berucap pelan.
“Kalau begitu, bapak masuk dulu, rileks saja, nanti
saya suruh si.. emm.. bagaimana kalau Titi.
Dijamin oke. Kalau tidak puas, jangan kesini lagi
deh pak!” si resepsionis tersenyum sambil
menuruni tangga.
Windu masuk ke kamar berukuran sekitar 2×3
meter itu lalu duduk di atas tempat tidur. Dadanya
berdetak keras. Keringat dingin mulai membasahi
keningnya. Kacamata minusnya mulai berembun.
Hembusan AC tidak mampu mengusir
kegelisahannya.
Episode 2: Si Mungil
“Malam, oom!” sosok mungil berambut pendek
itu sudah berdiri di depan pintu, mengejutkan
Windu yang masih berusaha menenangkan diri.
“Panggil saya Titi. Oom siapa..?” si tubuh mungil
itu melangkah dan duduk di kursi depan tempat
tidur. Ia meletakkan tasnya di meja, lalu meraih
asbak dari bawah kursi.
“Ehmm.. Win.. eh, Wawan..!” jawab Windu.
Windu terkesima melihat tubuh mungil yang
duduk di depannya itu. Dari wajahnya, Windu
menaksir usianya yang paling baru sekitar 18-an.
“Mau langsung pijit..? Atau mau ngobrol dulu,
atau mau yang lain, terserah si oom deh!” si
mungil itu mulai menyalakan rokok Sampurna
hijaunya.
Ia menghembuskan asap rokok ke arah Windu
sambil menyilangkan kaki kanan di atas kaki
kirinya. Paha putih mulusnya tersembul dari balik
rok pendek warna coklat yang dipakainya.
“Langsung boleh!” Windu berusaha
mengendalikan kegelisahannya.
“Oke! Bajunya lepas doong!” si mungil mematikan
rokok di asbak, melepas blus coklatnya dan
mengantungkannya di belakang pintu. Gerendel
di pintu dipasangnya lalu ia melangkah ke arah
washtafel dan mulai mencuci tangan.
Dada Windu tambah berdebar tidak menentu.
Saat seperti itu akhirnya tiba juga. Akhirnya ia
akan merasakan tubuh seorang wanita yang
selama ini cuma bisa dilihatnya di film-film sambil
ngeloco alias bermasturbasi. Tapi lama-lama ia
penasaran juga. Dari mailing list di internet,
Windu mendapatkan alamat beberapa tempat di
mana ia bisa melepaskan kelajangannya. Dari
mailing list itu juga ia tahu soal tarif dan tempat
yang paling bagus. Setelah berkali-kali berpikir
panjang, dengan bermodalkan uang satu juta
kiriman ayahnya yang tuan tanah di kampung,
kali ini Windu memberanikan dirinya. Alasannya
akan dipakai les komputer. Akhirnya ia
memberanikan diri untuk datang ke salah satu
tempat yang direkomendasikan seorang pengirim
mailing list. Dan kini ia tengah berada di hadapan
seorang wanita mungil, menggunakan rok
pendek dan baju tanpa lengan, tipis berwarna
putih. Sayup di balik baju tipis itu ia melihat dua
titik hitam berseberangan.
“Bangsat! Si mungil ternyata tidak pakai BH.”
dalam hati.
Debaran di dada Windu semakin tidak menentu.
Ia melepas kemeja dan celana panjangnya, lalu
duduk di pinggir tempat tidur dengan hanya
bercelana pendek sambil berusaha mengatur
dirinya agar tidak nampak grogi. Si mungil
mengambil lotion di rak sebelah atas washtafel
lalu berbalik ke arah Windu.
“Baru pertama kali yah, Oom..! Tenang aja deh..
Engga usah grogi gitu..!” si mungil tersenyum.
“Asu! Ketahuan juga!” Windu mengumpat dalam
hati.
Ia tidak ingat lagi apakah ia mulai terangsang atau
tidak. Yang dipikirkannya cuma bagaimana ia
menguasai diri. Dalam hitungan sepersekian detik,
wajah ibunya di kampung berkelebat di
kepalanya. Ibu yang rajin menasehati untuk rajin
belajar, rajin sholat dan jauhi berzinah.
“Ah, persetan..! persetan!” dalam hati Windu.
Windu berbaring menelungkup di ranjang
berlapis seprei putih yang masih bau pewangi.
Kepalanya ditelungkupkan di atas bantal, sambil
terus berusaha menahan debaran jantungnya
yang tambah tidak menentu. Apalagi saat
sepasang tangan halus mulai menyentuh
punggungnya dan mulai memijat perlahan.
“Wah, si Oom tegang bener.. Tenang Oom..
Habis dipijat, dijamin tegangnya hilang. Paling jadi
tegang yang lain..” si mungil mulai nakal dengan
ucapannya, sambil memperkeras pijatannya di
punggung Windu. Sesekali ia menambahkan
lotion.
“Wah, hebat juga si mungil ini..” Windu mulai
bisa menikmati pijatan di punggungnya. Suasana
ruangan senyap. Yang terdengar hanya deruman
AC dan derikan tempat tidur. Sesekali si mungil
nyeletuk dengan kata-kata nakalnya.
“Celananya, Titi lepas yah mas.. Nanti kotor lho
kena lotion!”
“Mas.. ia memanggil mas..!” dalam hati Windu.
Entah mengapa panggilan “mas” itu membuatnya
terangsang. Perlahan si mungil menarik turun
celana pendek yang dipakai Windu.
“Pinggulnya angkat dulu dong, mas..! Ihh males
nih!” ia merasakan pantatnya dicubit.
Windu menurut. Isi kepalanya sudah penuh
dengan berbagai pikiran yang paling jorok. Celana
pendeknya tersangkut sesuatu benda kenyal yang
mulai menegang. Dengan sekali sentak, si mungil
akhirnya berhasil melepasnya dan melemparkan
celana itu ke kursi.
“Nah, kan begini lebih enak.. Iiihh pantatnya
bohay juga!” si mungil menepuk pantat Windu.
Dengan santai si mungil naik ke ranjang dan
duduk di atas pantat Windu dan melanjutkan
memijat. Beberapa tetes keringat jatuh di
punggungnya. Dadanya kembali berdebar keras
saat pantatnya merasakan gesekan sesuatu benda
kasar di selangkangan si mungil.
“Kapan dia buka celana dalamnya?” Windu yakin
si mungil tak bercelana dalam.
Gesekan itu terus bergerak turun hingga ke paha,
saat si mungil bergerak. Windu merasakan
batang kemaluannya menegang keras. Tidak
terasa sudah setengah jam lebih pijatan itu
berlangsung dari punggung sampai ke kaki.
“Mas kok diam aja sih.. Engga enak yah pijatan
Titi?” si mungil berbisik menunduk dan berbisik di
telinga Windu. Sepasang benda kenyal menempel
di punggungnya.
“Enak.. enak kok..! Lagi nikmatin aja..!” Windu
menjawab sekenanya.
“Mau yang lebih enak? Tapi kena bayar ekstra
lho..” tiba-tiba tangan mungil itu sudah
menelusup di antara selangkangan Windu dan
menyambar batang kemaluan Windu yang
sudah sangat menegang. Tanpa menunggu
jawaban Windu, tangan yang masih belepotan
lotion itu mulai mengurut batang kemaluan
Windu yang terjepit himpitan tubuhnya. Windu
mengangkat pinggulnya agar si mungil lebih
leluasa mengurut benda keramat itu.
“Mau yah, mas.. dijamin deh..”
Dada Windu kembali berdebar tidak menentu.
Tangan kanan si mungil terus mengurut
sementara tangan kirinya mulai membuka
belahan pantat Windu. Dan tiba-tiba jempol kiri si
mungil mulai mendesak masuk ke lubang pantat,
sementara tangan kanannya bertambah keras
meremas dan memijat batang kemaluan Windu
yang sudah tidak menentu kerasnya. Rasanya
luar biasa. Baru kali ini batang kemaluan itu
merasakan sentuhan tangan lain, selain
tangannya. Ia merasa di awang-awang. Sesuatu
mulai terasa mendesak ingin keluar dari dalam
dirinya.
“Pegel ah Mas tangan Titi.. Sini balik badannya..”
Windu menurut. Ia membalikkan badan dan
telentang di atas ranjang. Tubuh kedua orang itu
bermandikan keringat. Dengan sigap si mungil
kini duduk di atas perut Windu lalu mulai
menunduk menciumi dadanya yang bidang.
“Mas badannya bagus.. Titi jadi terangsang nih!”
si mungil mulai mendesah.
Gesekan aneh itu kini terasa di perut dan mulai
menurun ke arah bawah, semakin ke bawah,
terus. Windu menahan nafas. Debaran di
dadanya kini terasa sangat cepat, apalagi saat ia
merasakan gesekan kasar bercampur cairan
hangat di batang kemaluannya. Akhirnya saat itu
tiba juga. Nafsunya bercampur rasa gugup.
Mukanya memerah. Si mungil menghentikan
gerakan pinggulnya dan menatap wajah Windu.
“Mas belum pernah beginian yah..? Wah, masih
perjaka doong..? Tenang mas, pelan-pelan saja..
Jangan gugup gitu ahh..” si mungil tersenyum.
Perlahan ia bangkit dari tempat tidur lalu
mengambil sesuatu dari tasnya.
“Pertama, kita pakai ini dulu. Biar aman..!” dengan
cekatan, si mungil menyobek bungkusan kecil itu
dan mengeluarkan sebuah benda berwarna
merah jambu dari dalamnya. Kondom!
“Sini Titi pasangin yah mas” dimasukkannya
kondom yang masih tergulung itu di mulutnya
dan langsung berjongkok di pinggir tempat tidur.
Ia melirik sejenak, tersenyum, lalu langsung
memasukkan mulutnya ke batang kemaluan
Windu dan mengulumnya.
“Ah!” sejenak Windu terpekik merasakan
kehangatan mulut si mungil di batang
kemaluannya, apalagi saat mulut itu mulai
mengulum.
Terasa batang kemaluannya mulai terjepit oleh
benda aneh yang terasa pas sekali. Si mungil
masih meneruskan mengulum dan ketika ia
mencabut kulumannya, batang kemaluan besar
Windu sudah terbungkus kondom.
“Seperti inikah rasanya menggunakan kondom?”
dalam hati Windu.
Ia memegang batang kemaluannya yang nampak
aneh terbungkus karet berwarna pink itu.
“Eit.. jangan dipegang dong. Inikan urusan Titi..!
Mas Wawan rileks aja..”
Si mungil kini menanggalkan baju putih tipisnya,
lalu roknya. Di hadapan Windu kini berdiri
sesosok tubuh telanjang. Payudara si mungil
ternyata tak semungil tubuhnya. Kedua benda
bulat itu benar-benar ekstra besar dan
menggantung. Jantungnya terasa mau copot
melihat pemandangan indah itu. Tubuhnya
terbujur kaku, batang kemaluannya yang
terbungkus karet berdenyut-denyut tidak
menentu. Si mungil kembali naik ke tempat tidur.
Ia duduk di atas dada Windu sedemikian rupa
sehingga di hadapannya kini terpampang jelas
rimbunan hitam yang terbelah di tengahnya
menampakkan sebentuk daging berwarna
kemerahan. Benda itu memancarkan bau aneh
yang sangat merangsang. Si mungil
memasukkan jarinya ke sela-selau benda itu,
menggosok-gosoknya sambil mengerang pelan.
Perasaan Windu campur aduk. Benda yang
selama ini cuma dilihatnya dari majalah dan video
porno sekarang terpampang jelas hanya
beberapa senti meter dari mukanya yang
bertambah merah.
Si mungil mulai bergerak turun sambil
membungkuk menciumi telinga, leher, dada,
terus ke perut Windu. Payudaranya berayun-
ayun mengikuti gerakan tubuhnya. Windu
menahan nafas menanti detik-detik di saat
akhirnya benda itu akan tiba di tujuan. Tubuh
mungil itu kini duduk mengangkang di antara
pinggul Windu.
“Oke, mas.. rileks aja.. Kita mulai yah..”
pinggulnya digerak-gerakkan dan sesekali
menyentuh batang kemaluan Windu yang sangat
mengeras.
Ia mulai menurunkan pinggulnya ke bawah
mencari batang kemaluan Windu dan siap
menelannya. Begitu dirasakannya sudah berada
di posisi yang pas, si mungil menekan
pinggulnya ke bawah dengan keras. Windu
menahan nafas. Wajah ibunya yang selalu penuh
nasehat berkelebat di kepalanya lalu berganti
dengan wajah ayahnya yang berhasil ditipu untuk
mengirimkan uang dengan alasan les komputer,
lalu berganti lagi dengan wajah nakal si mungil.
“Ahh!” batang kemaluan Windu melejit ke arah
samping, lolos dari terkaman mulut bagian
bawah si mungil. Kembali ia bangkit, tangannya
mencari-cari batang kemaluan Windu di bawah
selangkangannya, menegakkannya sehingga pas
berada di liang kewanitaannya. Ia melirik sebentar
ke arah Windu yang nampak sangat tegang,
tersenyum nakal, dan kembali menekan
pinggulnya.
“Mmhh.. ahh!! Bandel nih..!!” batang kemaluan
Windu kembali melejit ke samping.
Kelebatan wajah ibu dan ayahnya kembali
muncul. Windu memejamkan mata berusaha
mengusir wajah kedua orang itu. Si mungil
meraih lagi batang kemaluan Windu dan
mengarahkannya di posisi yang pas dan kembali
menekan pinggulnya.
“Lho, kok mulai kendor..! Jangan tegang dong,
mas.. Santai aja.” Windu tidak tahu harus berkata
apa.
Dalam hitungan detik saja ia mendapati batang
kemaluannya sudah melemas. Wajah Windu
pucat pasi.
“Emm, aku mau ke kamar mandi sebentar..!”
Windu menggeser tubuh telanjangnya sehingga
mau tak mau si mungil bergerak ke samping
membiarkan Windu bangkit dari tempat tidur.
“Jangan lama-lama yah.. Tenang saja, mas..
masih banyak waktu.” mata si mungil mengikuti
tubuh telanjang Windu yang bergerak gontai ke
arah kamar mandi.
Rasa simpatinya mulai muncul melihat Windu
yang serba kikuk. Belum pernah ia menemui
pelanggan yang seperti ini.
Di kamar mandi, Windu terduduk di atas kloset.
Kondom yang dipakainya terjatuh ke lantai kamar
mandi, karena batang kemaluan yang sudah
kembali menciut. Dicobanya meremas-remas,
tetapi tidak ada pengaruhnya. Benda itu malah
tambah menciut. Windu terduduk lemas dengan
wajah pucat pasi. Tidak dihiraukannya suara
panggilan si mungil dari dalam kamar.
“Kenapa aku?” dibenaknya mengalir seribu tanya.
Ia keluar dari kamar mandi, dan mendapati si
mungil masih tergeletak telanjang bulat di atas
tempat tidur. Secepatnya ia meraih semua
pakaian dan mengenakannya kembali. Tak
dihiraukannya serbuan pertanyaan si mungil.
Windu cuma ingin keluar secepatnya dari tempat
itu. Di depan, kembali ia bertemu dengan Dewi si
resepsionis.
“Sudah, pak..?” pertanyaan Dewi tidak digubris.
Dikeluarkannya uang satu juta keparat itu dari
kantongnya lalu diserahkan kepada Dewi, dan
secepatnya keluar.
Beberapa orang yang sedang duduk di ruang
tamu dibuat terheran-heran. Ada yang berbisik-
bisik sambil tertawa. Semuanya tak digubrisnya.
Ia terus berjalan dan berjalan menjauh dari
rumah keparat itu.
“Kenapa?” pertanyaan itu terus mengalir tidak
henti-henti di kepalanya.
Ia berjalan secepat mungkin, setengah berlari,
sampai akhirnya lelah sendiri. Lampu-lampu
jalanan sepanjang Bypass mulai menyala seolah
menyoroti dirinya. Windu menunduk. Ia berjalan
gontai. Berjalan dan terus berjalan.
Epilogue: Bangsaatt!
Dengan tubuh penuh keringat, Windu memasuki
kamar kosnya. Tak dihiraukan panggilan teman-
temannya yang sedang nongkrong di warung
indomie depan kos-kosannya. Ia cuma ingin
sendiri.
“Kenapa..?” pertanyaan itu terus menembaki
kepalanya sampai pusing.
Ia melepas seluruh pakaiannya dan memandangi
batang kemaluannya. Ia terduduk di pinggir
tempat tidurnya yang penuh dengan majalah
porno. Pelan-pelan ia mulai meremas benda kecil
itu. Pikirannya melayang ke si mungil yang
mungkin masih tidur telanjang di panti pijat tadi.
Dibayangkannya payudara yang berayun-ayun di
depan matanya, belahan liang kewanitaannya
yang kemerahan dan basah, desahan nafasnya,
tetesan keringat di dadanya. Windu meremas dan
mengocok, tidak dirasakannya batang kemaluan
keparat itu sudah menegang sekeras-kerasnya.
Yang ada di kepalanya hanya si mungil yang
telanjang bulat, di sela-sela pertanyaan mengapa
yang terus memenuhi kepalanya.
Ia terus meremas, mengocok, meremas. Sesuatu
terasa mendesak keluar dari dalam tubuhnya.
Nafasnya mendesah. Windu terus mengocok dan
meremas sekuat tenaga. Semakin cepat, semakin
keras. Terus mengocok dan meremas. Tubuhnya
menegang. Matanya memerah, air matanya
mulai menetes.
Langit semakin gelap, malam semakin sepi. Di
sela-sela dengkuran anak-anak kos yang berbaur
dengan orkes nyanyian serangga malam,
terdengar teriakan desahan bercampur tangisan
dari kamar Windu. Desahan yang semakin lama
semakin keras dan akhirnya berubah menjadi
teriakan memecah malam.
“Bangsaatt!!”
Tubuh telanjang Windu yang bermandikan
keringat terbujur di lantai kamarnya. Cairan putih
berceceran di sekujur lantai di sekitarnya.
Tangannya masih mengenggam batang
kemaluan keparat itu. Nafasnya masih memburu,
di sela-sela isak tangisnya. Tidak didengarnya
ketukan di pintu yang berulang-ulang memanggil
namanya dengan nada penuh kekhawatiran. Ia
menangis dan terus menangis.


Adult | GO HOME | Exit
1/570
U-ON

inc Powered by Xtgem.com