watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

KUNTUM

Dingin. Itu yang kurasakan saat menatap
wajahnya. Sama sekali tak ada emosi di sana.
Yang ada hanyalah gambaran sebuah kebekuan.
Beberapa jam yang lalu aku masih melihat tawa
di wajahnya, senyumnya. Saat itu ia tampak
sangat cantik, sebegitu cantiknya hingga
jantungku berdegup kencang setiap kali
bertatapan dengan matanya.
“Kenapa kamu bertanya demikian? Kamu
merusak mood-ku saja.”
“Maaf. Aku tak bermaksud membuatmu
tersinggung.”
Ia menatapku. Tak ada debaran seperti tadi.
Justeru bulu kudukku meremang.
“Kamu mau mengantarku pulang sekarang?” Dua
puluh menit kemudian kami sudah dalam
perjalanan. Tak ada satupun yang membuka
pembicaraan. Kurasa ia sibuk memikirkan tentang
semua ketidaknyamanan yang telah kutimbulkan,
sementara aku sendiri mungkin terlalu malu
untuk memulainya. Waktu membawa
keheningan. Aku menekan pedal gas dan
menyetir, tanpa sedikitpun tahu kemana aku
harus menuju.
“Kamu mau kemana ini?”
“Tak tahu,” kataku.
“rumahmu di mana?”
“Terus saja sampai ke simpang Semangka.”
“Baiklah.” Itu saja. Setelah itu keheningan kembali
di antara kami. Jalanan tampak lengang. Tak
heran, ini sudah pukul setengah satu pagi, dan
menjelang hari raya, nyaris semua orang pergi
berlibur. Aku melajukan mobilku dengan
kecepatan enam puluh kilometer perjam.
Kupikir, mungkin masih ada kesempatan bagiku
memperbaiki keadaan sebelum ia turun dari
mobilku. Kalau sampai ia turun sebelumnya, aku
tak yakin akan menjumpainya lagi di lain
kesempatan. Terus terang saja, ia membuatku
tertarik. Aku berjumpa dengannya di resepsi
pernikahan sahabatku, kurang lebih empat jam
yang lalu. Waktu itu kulihat ia berdiri sendiri di
depan pintu lorong yang menghubungkan
ballroom dengan dapur. Di tangannya sebuah
gelas berisi lemon tea yang tinggal setengah.
Saat pertama aku melihatnya, aku merasa tertarik.
Ia memiliki sesuatu yang membuatku tak jenuh
kala memandangnya. Ketika kuhampiri, ia
tersenyum padaku. Kami lalu berkenalan dan
berjabat tangan. Seperempat jam kemudian
setelahnya, kami sudah saling bercanda tentang
setiap orang yang menghadiri resepsi tersebut.
Bahkan pengantinnya. Canda itu membuat kami
serasa sudah saling mengenal selama bertahun-
tahun. Akhirnya aku menawarkan untuk
mengantarnya pulang. Namun bukannya
langsung pulang, di jalan ia memintaku untuk
berhenti di Dunkin’s.
Canda dan tawa kami teruskan di sana. Sampai
akhirnya aku merusak suasana dengan
pertanyaanku.
“Stop!” serunya, membuyarkan lamunanku. Aku
menepikan mobil dan menginjak rem.
“Ada apa?” tanyaku. Ia menoleh dan
memandangku.
“Suasana yang tak menyenangkan, kurasa,”
ucapnya.
“Kurasa juga demikian. Mau memaafkanku?” Ia
menatap mataku lama. Lalu secara tiba-tiba
kekakuannya berubah menjadi sebuah senyuman
tipis.
“Tentu saja,” katanya,
“aku juga minta maaf. Kurasa aku terlalu
emosionil.”
“Tak apa-apa,” balasku tersenyum. Lalu ia
tertawa.
“Apa yang lucu?” tanyaku.
“Tidak, wajahmu barusan, seperti anak kecil yang
baru saja memecahkan kaca jendela. Bagaimana
aku tidak merasa lucu?” Aku ikut tertawa juga
mendengar pemikirannya tentangku. Saat aku
memindah perseneling, jemarinya terangkat dan
menggenggam pergelangan tanganku. Kuangkat
kepalaku dan memandangnya.
“Ada yang salah?” tanyaku.
“Tidak. Kamu akan mengantarku pulang, bukan?”
“Tentu saja. Seperti apa yang kau mau.”
“Hmm. Ajak aku ke rumahmu.” Aku terkesiap.
Kupandang wajahnya. Ia tersenyum
memandangku.
“Tunggu,” kataku, “aku tidak…”
“Sebaiknya cepat-cepat sebelum aku berubah
pikiran.” Ia melepaskan genggamannya di
tanganku. Setelah itu ia berpaling menatap ke luar
jendela samping. Aku tak tahu apa yang ada di
pikirannya-dan di pikiranku juga. Tapi akhirnya
kutekan pedal gas dan melajukan mobil menuju
rumahku.
“Well, home sweet home,” ucapku setelah
menghentikan mobil di tepi trotoar. Kulihat ia
memperhatikan rumah kecilku dengan seksama.
“Well juga, kamu akan menurunkanku di sini,
atau memasukkan mobilmu dulu?” Aku kembali
menatapnya, menunggu satu kalimat yang
mungkin bisa menjelaskan mengapa aku ada di
sini sekarang bersamanya. Tapi tidak ada. Ia
hanya balas menatapku dengan alis terangkat
seolah mengulangi pertanyaan yang baru
diajukannya. Akhirnya kubuka pintu mobil dan
melangkah keluar. Ia mengikutiku.
“Maaf. Berantakan. Ini rumah bujangan,” kataku
begitu aku melangkah masuk ke dalam ruang
tamu. Kutekan saklar lampu. Ruang tamu yang
semula gelap menjadi terang dan terasa hangat.
“Tidak apa-apa. Bagiku ini cukup rapi,” kudengar
ia berkata dari belakang. Kulepas jasku dan
meletakkannya di atas buffet, lalu aku berjalan
menuju bar kecil di ruang dapur.
“Mau minum apa?”
“Air putih,” ia berseru dari ruang tamu. “Dingin
kalau bisa.”
Saat aku kembali dengan dua gelas air dingin,
kulihat ia sudah membuat dirinya nyaman di
ujung sofa L. Ia sudah melepas cardigan birunya.
Dari balik kemeja putih tipis yang ia kenakan, aku
bisa melihat bayangan bra-nya. Pahanya dan
betis yang putih terlihat saat ia mengangkat
sebelah kakinya ke atas kaki yang lain. Cepat-cepat
kualihkan pandanganku.
“Ini,” ucapku seraya menyodorkan gelas di
tanganku.
“Thanks,” katanya sambil tersenyum. Kulihat
lehernya yang putih bergerak-gerak saat ia
menghabiskan setengah dari isi gelasnya. Aku
mengambil tempat satu sekat kursi dari tempat ia
duduk. Air dingin membuatku terasa lebih segar.
“Ruang tamu yang nyaman,” ucapnya beberapa
saat setelah kuletakkan gelasku ke atas meja. Aku
tersenyum dan mengangguk.
“Yah, lumayan. Setidaknya cukup untuk
menghabiskan sore sambil membaca novel.”
Ia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri
stereo-set di celah rak buku.
“Apa kerjamu tadi?”
“Di sebuah perusahaan distributor material
bangunan.”
“Oh ya, aku lupa. Lumayan juga penghasilanmu.”
“Cukup untuk seorang diri.”
“Let’s see. Indra Lesmana? Paul Anka?
Instrumental Love Songs. Hey, seleramu lembut
juga. Kamu suka mendengar semua ini?”
“Setiap pulang kerja.” Ia lalu memasukkan satu
CD ke dalam deck, lalu memencet beberapa
tombol dengan raut percaya diri. Tak berapa lama
kemudian, alunan instrumental Oriega mengalun.
“Pilihan yang bagus,” ucapku tersenyum. Ia
membalikkan tubuh dan membungkuk. Tangan
kirinya menekuk ke dalam, sementara tangan
kanannya terangkat, persis sikap menghormat
bangsawan-bangsawan Eropa. Aku tertawa
melihatnya.
“Shall we dance?” katanya, membuat tawaku
berhenti.
“Wah,” kataku, “aku tak bisa dansa.”
Ia mengangkat tubuhnya dan tersenyum.
“Tidak apa-apa. Asal jangan tiga kali menginjak
kakiku.”
“Mungkin lebih.”
“Ayolah. Jangan buatku kecewa.”
Aku tertawa dan bangkit dari sofa, lalu
mendekatinya. Kedua lengannya terbuka saat aku
berhadap-hadapan dengannya. Kikuk, kuraih
tangan kanannya dengan jemariku. Ia tertawa
geli.
“Bukan, bukan begini. Tapi begini,” katanya
seraya menurunkan lenganku yang terangkat. Ia
menuntun tanganku hingga melingkar di
pinggangnya, lalu kedua lengannya sendiri
memeluk leherku. Saat itu wajahku begitu dekat
dengannya, hingga bisa kucium aroma cologne
dari lehernya. Saat kutarik kepalaku sedikit ke
belakang, ia tertawa.
“Kamu begitu kikuk. Benar rupanya, kau tak bisa
berdansa.”
Aku mendengus malu. Sedikit berdebar
kemudian, saat ia merapatkan tubuhnya ke
tubuhku. Buah dadanya menekan dadaku,
membuatku bingung.
“Tenang,” bisiknya. Tubuhnya lalu bergerak ke kiri
dalam ayunan yang lembut.
“Ikuti saja iramanya,” ia berbisik lagi. Aku
berusaha sebisa mungkin. Alunan instrumen
membuatku terlena beberapa saat kemudian.
“Kamu terangsang,” ia berbisik tiba-tiba. Aku
terkesiap, sadar kalau pada kenyataannya aku
memang terangsang hebat. Gerakan tubuhnya
yang menempel di tubuhku, aroma wewangian
dari kulitnya. Kudorong pinggangnya sedikit
menjauh. Pelukannya di leherku terlepas. Kulihat
ia tersenyum menatap selangkanganku yang
sudah terlihat menonjol. Wajahku memanas.
“Maaf,” kataku, “aku tak bermaksud…”
“Kamu masih perjaka,” bisiknya memotong
sambil tersenyum. Dengan alis berkerut
kugelengkan kepalaku.
“U-uh. Tidak. Aku sudah tidak perjaka. Tapi…”
“Tidak, kamu masih perjaka,” ia berbisik lagi. Kali
ini senyumnya melebar. Lalu tiba-tiba ia tertawa
kecil.
“Kamu lucu.”
“Hey !” protesku. Kubalikkan tubuhku dengan
kesal, lalu melangkah kembali ke sofa. Masih
kudengar ia tertawa di belakangku.
“Perjaka. Aku bertaruh kamu pasti bingung apa
yang harus kaulakukan pada seorang wanita
yang mendadak berada di rumahmu pada jam
satu pagi.”
“Terserah apa katamu,” gumamku, lalu
menghempaskan tubuhku di atas sofa. Terus
terang saja, aku benar-benar jengkel. Tuduhan
semacam itu tidak kusukai. Kulihat ia masih
berdiri menghadapku dengan senyum di depan
stereo set. Kualihkan pandanganku ke arah gelas
di atas meja.
“Kamu marah?” kudengar ia bertanya. Aku
mendiamkannya. Lalu kudengar langkahnya
mendekat. Kurasa gerakan sofa saat ia duduk di
sebelah kananku.
“Hey, jangan cemberut begitu. Maaf kalau
membuatmu tersinggung. Kita impas?” Aku
menoleh dan melihat ia masih dengan
senyumnya menatapku. Lalu ia menarik sebelah
kantung matanya dengan jemari telunjuk, sambil
mengeluarkan lidah. Mau tak mau aku tertawa
juga melihatnya.
“Perjaka,” bisiknya dengan tersenyum.
“Hey !” seruku. Tapi rasa jengkelku sudah hilang.
“Maaf, aku hanya menggoda.”
“Jangan lagi.”
“Tentu tidak,” sahutnya. Aku baru sadar, bahwa
jarak antara wajahku dengan wajahnya hanya
sekitar tiga puluh senti. Wajahku memanas lagi.
Saat aku bergerak hendak bergeser, jemarinya
meraih lenganku.
“Jangan menjauh.” Aku menoleh dan
memandangnya. Ia menatap mataku. Kemudian
ia bergerak. Ia mencium bibirku. Sebentar.
Lembut. Saat ia melepaskan bibirnya dari bibirku,
kutatap wajahnya dengan perasaan tak karuan. Ia
menarik bibirnya, tersenyum dan berkata, “Aku
tidak melakukan sesuatu yang salah, bukan?”
Aku tak tahu harus berkata apa. Saat aku terdiam,
tubuhnya bergeser lagi semakin rapat, lalu ia
mengangkat kepalanya dan mengecup bibirku
sekali lagi.
Kali ini lebih lama daripada yang tadi. Lonjakan-
lonjakan jantungku membuat mataku terpejam.
Bibirnya begitu lembut di bibirku. Rasa lemon
bercampur aroma wewangiannya. Aku terlena
saat bibirnya memagut bibirku. Secara otomatis
lenganku terangkat dan memeluknya. Ia
menjauhkan sedikit bibirnya dan mendesah, lalu
kembali memagutku. Yang kurasakan selanjutnya
adalah birahi yang memuncak. Entah berapa lama
kami berpagutan, dengan kedua lenganku
memeluk tubuhnya. Kesadaranku sudah nyaris
hilang.
“Tunggu,” ia berbisik, menjauhkan dirinya dariku.
Segenap otot di tubuhku melemas. Kupandang ia
dengan hasrat yang menggebu. Ia tersenyum
menatapku, lalu jemarinya bergerak menuju
kancing-kancing bajunya. Nafasku tercekat saat ia
melepas baju putih tipisnya. Kedua buah dadanya
terlihat menyembul dari balik bra krem yang ia
kenakan. Kulit yang putih dan halus itu membuat
darahku berdesir.
“Kamju sudah pernah melakukannya?”
“Uh, apa? Belum.. ah… sudah..tentu..” Ia tertawa.
Jemarinya bergerak lagi. Kali ini ia menarik salah
satu tali bra-nya hingga terjatuh sampai ke
lengan. Aku tak tahan lagi. Kugeser tubuhku
mendekat.
“Aku…”
“Ssshhh,” jemari telunjuknya menempel di
bibirku.
“Aku..,” desahku lagi. Kuangkat lenganku dan
memajukan tubuhku, berusaha memeluk dan
menciumnya. Tapi kedua lengannya menahan
pundakku.
“Relaks,” bisiknya di depan bibirku.
“jangan buru-buru.” Ia benar-benar membuatku
tak tahan saat ia menarik tali bra-nya yang lain. Ia
menggeser tubuhnya lebih dekat, hingga
dadanya menempel di lenganku. Pandanganku
tak beralih sedikitpun dari wajahnya yang
tersenyum. Nafsuku sudah meledak-ledak. Tapi
pandangan matanya membuatku terpaku. Tanpa
sadar aku mengerang saat jemarinya menempel
di selangkanganku.
“Berdiri,” ia berbisik di telingaku. Ia menarik kedua
kakinya ke atas sofa, hingga sekarang ia dalam
posisi berlutut di sampingku. Nafsuku
membuatku memalingkan wajah dan menciumi
kulit perutnya, sementara sebelah lenganku
merangkul pinggangnya. Ia terkekeh.
“Hey, geli. Jangan bergerak. Atau aku pakai baju
lagi.” Mengerang, kutarik tubuhku. Ia tertawa.
Lengannya terulur lagi, kali ini menarik zipper
celanaku ke bawah. Aku memandangi jemarinya
yang menyusup masuk dengan rasa senang
yang aneh.
Kupejamkan mataku dan mendesah saat
jemarinya menemukan batang kemaluanku yang
menegang.
“Nice,” ia berbisik di pipiku. Kutolehkan kepalaku
dan meraih bibirnya. Ia membalas pagutanku
dengan gerakan mengulum yang lembut.
Jemarinya lalu mengelus batang kemaluanku. Ia
melepaskan bibirnya dan menggeleng, saat aku
bergerak hendak memeluknya.
“Jangan,” bisiknya sambil tersenyum. Saat itu
jemarinya sudah masuk ke dalam celana
dalamku, mengelus, lalu menggenggam batang
kemaluanku.
“Aku suka,” bisiknya sekali lagi. “pejamkan
matamu.”
Saat kupejamkan mataku, kenikmatan tiada tara
merasukiku, kala ia menggerakkan jemarinya
yang menggenggam batang kemaluanku.
“Ahhh..,” erangku. Kurasakan jemari tangannya
yang lain meraih tanganku.
“Letakkan tanganmu di sini,” bisiknya. Kurasakan
jemariku menempel di dadanya. Kusentuh buah
dadanya dengan jemariku, lalu kususupkan ke
balik bra-nya. Ia mendesah saat kutemukan
puting buah dadanya. Jemarinya bergerak sedikit
lebih cepat, membuatku mengerutkan wajah,
menahan nafsuku sendiri.
“Shit,” bisikku, membuka mata, menundukkan
tubuhku, lalu menciumi buah dadanya. Kutarik
bra-nya ke bawah, lalu dengan rasa yang tak
karuan kukecup puting buah dadanya.
“Ahhh,” ia mendesah saat kulakukan itu. Nafsuku
tak tertahan lagi, kuputar tubuhku
menghadapnya, dan kupeluk ia. Genggamannya
di batang kemaluanku terlepas. Aku tak perduli.
Kuciumi ujung buah dadanya yang telanjang di
depanku.
“Ssshhh,” ia mendesis. Kutekan tubuhku ke
tubuhnya, hingga separuh tubuh kami
bertindihan di atas sofa. Ia tertawa kecil saat
kugigit kulit dadanya. Dengan gerakan yang
mengesalkan, ia lalu mendorong tubuhku
menjauh menggunakan kedua tangannya.
“Buka bajumu,” ucapnya sambil tersenyum. Aku
cepat-cepat melakukan apa yang dimintanya. Tak
berapa lama kemudian aku sudah duduk dalam
keadaan telanjang bulat. Ia memandangku
dengan bibir setengah terbuka.
“Kamu…,” ucapku. Terhenti karena aku tak ingin
melakukan kesalahan apapun.
Ia tertawa. Katanya, “Help me?”
“Ahh,” desahku, lalu mengulurkan kedua
lenganku, menyusupkannya ke balik pinggulnya,
berusaha mencari pengait span yang ia kenakan.
“Hey, jangan kasar-kasar.”
“Maaf..maaf…,” ucapku terbata-bata. Ia tertawa
lagi. Kupikir akulah si keledai dungu itu, yang
mengaku sudah pernah bercinta, ternyata seperti
anak kecil di atas tempat tidur. Dengan sedikit
gugup-diiringi tawanya yang tiada henti-akhirnya
aku berhasil membuka semua pakaian yang
dikenakan olehnya.
“My God,” desahku tanpa sadar. Di depan
mataku, saat ia membuka pahanya, kulihat
sesuatu yang membuatku terpana sesaat.
“Hey, kamu akan mengamati terus?” ia berkata
sambil tertawa. Lengannya terulur meraih
pundakku.
“Aku…aku ingin melihat..,” bisikku tanpa
memandang wajahnya. Ia melepaskan
tangannya. Kudekatkan kepalaku. Dengan
jemariku, kuraba bulu-bulu kemaluannya yang
tersusun rapi.
Aku terpesona. Sejujurnya, baru kali itulah aku
menyaksikan kemaluan seorang wanita dari
dekat. Dan ianya begitu luar biasa, begitu
menantang kelaki-lakianku, membuat darahku
mengalir lebih cepat dan lebih cepat.
“Kamu bisa menikmatinya, selama kau mau,”
kudengar ia berkata. Aku merasa malu sendiri.
Jelas sudah ia mengetahui kalau aku memang
masih perjaka. Dengan wajah memerah,
kulepaskan pandanganku dari bibir kemaluannya
yang merah dan basah.
Kutarik tubuhku ke atasnya. Kulihat ia
memandangku, masih dengan senyuman di
bibirnya.
“Kamu akan melakukannya sekarang? Kuharap
tidak,” desisnya kemudian. Aku memandangnya
heran. Ia lalu mengulurkan lengannya dan
mengelus pipiku dengan jemarinya. Katanya,
“Aku masih ingin dibelai dan dikecup.” Aku
tersenyum dan mengangguk. Kuturunkan
tubuhku dari sofa, lalu berlutut di samping
tubuhnya yang terlentang. Kubungkukkan
punggungku, meraih puting buah dadanya
dengan bibirku.
Ia meraih tangan kananku, dan meletakkannya di
permukaan bulu kemaluannya. Secara otomatis,
jemariku mulai meraba dan menjelajahi bagian
terintim dari tubuhnya. Kudengar ia mendesah
dan mengerang setiap aku mengusap bibir
kemaluannya. Tangan kanannya lalu turun dan
meraih batang kemaluanku yang tegang.
Kenikmatan yang luar biasa, saat ia memainkan
jemarinya di sana. Kupejamkan mataku,
menghisap buah dadanya, dan memainkan
jemariku. Ia menggelinjang saat kumemasukkan
jari tengahku ke liangnya.
“Sekarang…,” ia mendesah lirih beberapa menit
kemudian. Aku melepaskan pagutanku, menarik
jariku keluar dan bangkit berdiri. Ia menatapku.
Tiba-tiba tangannya terulur lagi, menahan
tubuhku.
“Tunggu,” katanya sambil tersenyum. “aku ingin
mengecupmu.”
Kutatap ia dengan alis berkerut. “Jangan,” kataku.
“Aku tak suka.”
Tapi seolah tak mendengarku, jemarinya meraih
batang kemaluanku. Aku mundur selangkah,
berusaha menghindarinya daripada melakukan
hal yang tak pernah kusukai saat menyaksikan
film-film blue atau mendengar cerita teman-
temanku- bahkan membayangkan melakukannya
saja selama ini membuatku ingin muntah. Ia
menoleh dan menatapku dengan heran. Beberapa
saat kami saling pandang sampai akhirnya ia
tersenyum.
“Baiklah,” ucapnya, “ke sini. Let’s fuck.”
“Aku tak suka istilahmu.”
“Terserah. Mau tidak ? Kalau tidak kita sudahi
saja.”
Kutatap ia dengan wajah berkerut. Sedikit
kekecewaan timbul di hatiku. Semua kesan
romantisme hilang dalam sekejap. Ia seolah tak
memperdulikanku, menolehkan kepalanya ke sisi
yang lain.
“The hell,” desisku. Nafsuku sudah sampai ke
ujung. Tidak sekarang, maka takkan lagi. Sedikit
gusar aku melangkah mendekatinya, lalu menarik
sebelah pahanya. Ia menoleh, alisnya berkerut
saat memandangku.
“Kasar,” bisiknya. Nada tak senang terdengar saat
ia berucap. Aku tak perduli. Kuangkat tubuhku ke
atasnya, dengan sebelah kaki menopang di sofa,
dan sebelah lagi menopang di lantai. Kutatap
matanya. Ia balas menatapku. Kami saling
terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya ia
berkata, lebih mirip desis gusar,
“Kamu hanya mau diam begitu?”
“Sial,” makiku. Kulebarkan pahanya, dan sambil
memegang batang kemaluanku dengan satu
tangan, kutekan batang kemaluanku ke bibir
kemaluannya. Ia menghentakkan kepalanya ke
belakang. Bibirnya mengeluarkan suara erangan.
“Arrrgghh.” Aku sudah gelap mata. Emosi dan
nafsuku campur aduk. Aku bukan anak kecil,
ucapku dalam hati, aku orang dewasa. Aku
belum pernah bercinta, itu benar. Tapi jangan
memperlakukanku seperti orang bodoh. Kutekan
pinggulku kuat-kuat ke depan. Ia mengerang lagi.
Kurasakan sesak yang luar biasa. Tak perduli,
kutekan lagi pinggulku. Ia mengulurkan
tangannya, berusaha mendorong perutku.
Kutepis lengannya.
“Jangan hentikan aku,” desisku. Kutekan lagi
pinggulku lebih kuat. Akhirnya, dengan rasa nyeri
di ujung, batang kemaluanku melesak. Aku
mengerang, menahan ekstasi yang merambati
seluruh sarafku.
“Ahkkk,” ia mendesah. Kepalanya terangkat.
Matanya menatapku. Aku terkejut saat melihat
ada air mata di situ. Aku hendak menarik tubuhku
saat ia meraih lenganku.
“Jangan. Jangan berhenti. Teruskan.” Aku tak tahu
apa maunya sebenarnya. Tapi akhirnya, dengan
memejamkan mata, kugerakkan pinggulku, maju
dan mundur. Kudengar ia mengerang dan
mendesah, seirama dengan gerakan pinggulku.
Kegelian bercampur kenikmatan membuatku
terbang ke awang-awang imajinasiku. Segala
sesuatu melintas seketika. Semua yang sudah
kulalui. Pengalaman-pengalaman seksual ala
sabun itu. Kini keinginanku menjadi kenyataan. Di
sini. Bersama wanita ini. Persetubuhan
pertamaku. Sejuta kesan yang tiada pernah
lengkap diurai dengan kata-kata. Ia lalu meraih
leherku, melingkarkan kedua betisnya di
pinggangku. Ia menekan tubuhku hingga
merapat ke tubuhnya. Bibirku bergerak sendiri
meraih bibirnya. Kami berpagutan, sesekali saling
menggigit. Pinggulku bergerak dan bergerak,
pori-poriku meresapi semua kenikmatan yang
bisa diraihnya. Mendesah dan mengerang. Geliat
dan keringat yang bercampur.
“Ahkk,” erangku. Kurasakan nafsuku sudah
mencapai klimaksnya. Ia menjambak rambutku.
Bibirnya berbisik-bisik tak karuan.
“Jangan ! Jangan dulu…aahhkk…”
“Shiitt !!” erangku memaki, lalu melepaskan
tubuhku dari pelukannya. Kuraih batang
kemaluanku dan menariknya keluar, persis seperti
yang sering kusaksikan di film-film blue. Sedetik
setelah kutarik, saripatiku keluar, menyembur ke
atas bulu-bulu kemaluannya. Mataku terpejam
menahan kenikmatan yang tiada tara. Saat
kubuka mataku, kulihat ia menatapku.
Nafasnya masih terengah. Alisnya berkerut,
bibirnya setengah terbuka, seolah hendak
mengatakan sesuatu. Kelelahan sudah merasuk
ke dalam tulang sumsumku. Mataku berkunang-
kunang beberapa saat kemudian. Batang
kemaluanku melemas dengan sendirinya.
“Aku..ah… maafkan,” bisikku setelah sadar bahwa
aku terlalu cepat baginya. Sudah sering kudengar
tentang hal ini dari canda teman-temanku. Aku
malu seketika. Ia masih menatapku tanpa berkata
apapun. Tapi kerutan di alisnya menghilang, saat
lengannya terulur ke arahku.
“Mau kau tidur di dadaku?” kudengar ia berbisik
padaku. Sambil tersenyum lega, kuanggukkan
kepalaku. Lalu kubaringkan tubuhku di atas
tubuhnya.
“Thanks,” bisikku padanya. Kurasakan jemarinya
menyisiri rambutku.
“Sori,” bisikku sekali lagi.
“Tak apa-apa. Aku tahu.”
“Aku sedikit kasar. Aku pasti membuatmu sakit.”
“Tak apa-apa juga. Aku bisa mengerti hal itu.”
“Kamu marah?”
“Kalau marah, aku takkkan memintamu tidur di
dadaku.”
Aku tersenyum saat mendengarnya berkata
demikian.
“Apa yang akan terjadi selanjutnya?” tanyaku lirih.
“Selanjutnya, aku menyuruhmu terlelap.” Ia lalu
berhenti menyisiriku, kemudian memelukku.
Kurasakan kehangatan kulitnya dan kelembutan
tubuhnya membuatku nyaman. Kupejamkan
mataku. Tepat sebelum aku terlelap, kubisikkan
sebuah pertanyaan padanya.
“Kamu akan menghilang besok pagi?” Kudengar
ia tertawa lirih.
Katanya, “Mungkin. Tapi aku akan kembali.”
“Aku akan kembali,” bisiknya mengulang.
Mungkin aku sedang bermimpi, saat kudengar ia
bersenandung seolah menidurkanku. Lalu aku
terbang ke alam fantasi. Fantasi tentang hari yang
begitu luar biasa, saat aku kehilangan
keperjakaanku di tangannya. Wanita itu. Ia.
Pagi menjelang.
Aku terbangun dengan tubuh tertekuk, telanjang
dan pegal, mendapati dirinya tak ada di
sampingku. Baju-bajuku masih berserakan di
lantai. Aku yakin, aku takkan menjumpainya lagi.
Aku tak punya alamat, tak punya nomor telepon
yang bisa kuhubungi untuk mencapainya. Ia
mirip omong kosong angin yang berlalu setelah
menghembus di sisi wajahku. Hanya sebuah
nama, yang dimiliki berjuta-juta orang. Satu
kejapan mata kemudian, kurasakan sebuah
kerinduan.


Adult | GO HOME | Exit
1/570
U-ON

inc Powered by Xtgem.com