watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

TERDAKWA

Seperti pada umumnya pasangan muda yang
sama-sama bekerja mengakibatkan urusan
pekerjaan rumah terpaksa dikerjakan oleh pihak
lain dalam hal ini pembantu rumah tangga.
Kita menempati sebuah rumah mungil dengan
dua kamar tidur, yang terdiri dari satu kamar
agak besar untuk kita di bagian depan, sementara
yang satu lagi di bagian belakang dengan ukuran
sedang dicadangkan untuk anak kita kelak; kita
berniat ingin mempunyai anak satu saja.
Karena kita belum mempunyai anak, maka kamar
tersebut lebih sering digunakan sebagai kamar
tamu. Sementara itu kamar prt (pembantu rumah
tangga) ada di bagian belakang. Istriku adalah
anak bungsu dari lima bersaudara, sementara aku
adalah anak nomor tiga dari enam bersaudara -
karena kita berdua dari keluarga besar, dengan
alasan inilah kita ingin mempunyai anak tunggal
saja.
Pembantu rumah tanggaku telah berganti
beberapa kali, mungkin tetangga melihat kita
berdua itu seperti apa gitu, galak, jahat, atau
sejenisnya. Kita berdua sepakat sebelum
mempekerjakan prt bahwa tidak akan
mempekerjakan prt yang telah berumur. Selain
risih menyuruh orang tua, juga gimana sih kalau
minta tolong sama orang yang berumur, nggak
tega. Walaupun dia prt, khan manusia juga.
Biasanya prt yang telah berumur memang tidak
sekuat yang muda, tetapi lebih telaten, dan
biasanya masakannya lumayan enak.
Kemudian diusahakan jangan yang janda. Ini
permintaan istriku sendiri. Alasannya membuat
aku ketawa, dia bilang kalau janda khan udah
pernah merasakan hubungan intim, terus kalau
pas lagi “nafsu”, khan bisa repot. Repotnya, dia
bisa “main” sama tetangga, terus mainnya di
rumah kita, khan jadi kacau urusannya. Kalau
prianya baik. Kalau nggak? bisa terkuras habis
deh, isi rumah. Apalagi bila sampai aku digoda
juga, katanya sambil memencet hidungku.
Pernah dapat pembantu dari suatu yayasan.
Ternyata belum ada satu minggu sudah nggak
betah. Akhirnya diganti oleh yayasan tanpa keluar
biaya lagi. Nampaknya kejadian itu berulang,
hingga akhirnya kita putusin tidak pakai prt,
karena setiap ganti khan kita ngasih pengarahan
pekerjaannya. Lha kalau tiap minggu ganti khan
sama aja dengan kita yang mengerjakannya.
Karena kesibukan kantor, nampaknya kita nggak
sanggup melakukan pekerjaan rumah lagi.
Bayangin nyuci baju digabung dalam satu
minggu dikerjakan hari sabtu, khan lumayan tuh.
Aku yang nyuci istriku kebagian nyetrika pakaian
seminggu. Dia yang masak apa adanya dan aku
yang nyuci piring. Dia yang nyapu aku yang
ngepel. Pertama sih biasa lama kelamaan nggak
sanggup juga.
Kita dapet info ada tempat pengelolan prt (bukan
yayasan). Yah kita coba. Kita ambil satu orang,
sampai rumah sudah agak malam, eh, besok
paginya udah hilang, ninggalin surat bahwa dia
disekap sama pengelola itu, dan ngambil uang
belanja di dekat kulkas, untuk pulang kampung
katanya, sembari mengucapkan maaf dan terima
kasih. Istriku geleng-geleng.
Yah, balik lagi kerja sendiri lagi. Ternyata lebih
capek mengerjakan pekerjaan rumah yang nggak
pernah ada habisnya. Makanya aku salut sama
para ibu rumah tangga yang sehari-hari
pekerjaannya ngurusin rumah yang kerja dari
pagi hari sebelum matahari terbit hingga jauh
malam hari - yang masak untuk keluarganya,
yang dandan untuk suaminya (kalau pekerja khan
dandannya bukan untuk suami, terus kalau di
rumah pakaiannya seadanya, tul nggak?), yang
memperhatikan semua anak-anaknya (hanya saat
sekolah saja, dia tidak melihat), yang menyambut
bila suami pulang kerja dengan cantiknya (khan
cantik untuk suami), yang melayani kebutuhan
suaminya dengan sepenuh hati.
Akhirnya kitapun dapat rejeki. Sebelah rumahku
sedang memperbaiki rumah, saat istirahat siang
selagi bicara masalah bangunan salah satu
tukangnya menawarkan keponakannya untuk
bekerja di rumahku; kalau sekedar merawat
rumah dan bersih-bersih sih bisa katanya, hanya
tidak bisa masak. Karena pengalaman dikerjain
prt, aku coba menanyakan ke tetanggaku; si
pemilik rumah, kenal nggak dengan tukang yang
menawarkan prt itu. Ternyata dia kenal, karena
perusahaannya mempekerjakan tukang itu
(perusahaan tetanggaku bergerak di arsitektur),
dan sedang dipinjam untuk memperbaiki
rumahnya.
Aku dan istriku setuju untuk mengambilnya, saat
dia pulang kampung dia mengajak keponakannya
itu. Anaknya masih kecil, umurnya sekitar 16
tahun, hitam kelam, rambut ikal, kakinya nampak
banyak bekas luka, agak kurus, seperti nggak
terawat.
Sebelum pulang pak tukang, mengatakan bahwa
dia menitipkan keponakannya untuk kerja di sini,
mohon untuk dididik perilakunya, terasa lebih
kekeluargaan ketimbang bisnis di yayasan tadi.
Kalau dirasa nggak cocok, bisa hubungi di kantor
tetanggaku dan dia akan membawanya kembali
ke kampung. Sambil pamit aku memberikan
uang pengganti transport yang dikeluarkannya.
Seperti biasa istriku memberikan contoh apa saja
yang akan dikerjakan, tentunya bertahap, tidak
sekaligus, biar dia nggak bingung. Hasil kerjanya
cukup lumayan; rumah selalu bersih, pakaian
tertata rapi. Biasanya aku sama istriku suka
berantem nyari pakaian yang satu di mana,
pasangannya di mana, kadang ada yang belum
disetrika, kadang lupa belum diangkat dari
jemuran di lantai atas). Kondisi saat ini boleh
dibilang sudah lebih baik buat kita. Soal masak,
karena prt-ku nggak bisa masak, jadi kita catering
aja. Istriku juga nggak bisa masak, jadi dia nggak
bisa ngajarin prt-ku (Istri yang sempurna khan
harus 3M, macak/berias, masak, dan manak/
hamil. Di sini m1 bagus, m2nya nggak bisa,
tinggal m3 tunggu tanggal mainnya).
Tidak terasa udah sebulan. Mudah-mudahan dia
betah lama tinggal di sini, soalnya nyari prt itu
gampang-gampang susah. Dari istriku, aku tahu
bahwa dia meninggalkan kampungnya karena
bapaknya kawin lagi dan ikut dengan istrinya
yang baru, sementara ibunya (adiknya tukang
bangunan tadi) yang belum sempat dicerai
pacaran dengan pria beristri. Runyamlah suasana
rumahnya bila kedatangan istri pacar ibu-nya.
Selain malu dengan tetangga, juga suasana
rumah juga mendukung untuk meninggalkan
kampung, sementara untuk ke bapak, sepertinya
lebih berat dengan istri barunya ketimbang sama
anaknya. Oleh sebab itu dia sangat senang
dengan bekerja di tempatku.
Karena kerajinannya, istriku memberikan
beberapa fasilitas padanya, mulai peralatan mandi
untuknya, termasuk pembalut wanita, juga
memberikan beberapa kosmetika bekas istriku
yang masih bisa dipakai (hampir habis; tadinya
oleh istriku sudah mau dibuang justru dia yang
meminta), juga diberikan pakaian tidur. Semakin
senang lah dia tinggal di rumahku. Dia juga
jarang bergaul dengan para prt tetanggaku; ini
merupakan keuntungan buatku, karena tidak
tertutup kemungkinan ngerumpinya para prt,
bisa membuat prt-ku loncat ke tetanggaku yang
lain karena tergiur gaji yang lebih besar. Juga
dengan lelaki, sepertinya dia anti laki-laki banget,
mungkin karena di kampungnya dia punya
masalah dengan beberapa laki-laki.
Lama kelamaan perubahan mulai terjadi. Yang
tadinya dia datang kurus, hitam, pokoknya seperti
orang nggak keurus, saat itu, sekarang udah agak
berisi malah udah agak bulet badannya -
mungkin perbaikan gizi. Kulitnyapun sudah tidak
sehitam waktu baru datang, bisa jadi karena
jarang keluar rumah, jadi nggak kejemur (dulu di
kampung dia sering ke sawah). Udah gitu pakai
handbody bekas istriku segala. Udah deh, asli
berubah total. Pamannya aja sampai nggak
ngenali sewaktu datang berkunjung.
Apalagi kalau lagi ngepel lantai (kita berdua, aku
dan istriku nggak pernah ngepel dengan tongkat,
tetapi dengan cara merangkak, selain lebih bersih,
juga hitung-hitung olah raga - cara ini juga
diterapkan ke prt), sepasang bukit kembarnya
berguncang; sejalan dengan semakin bulatnya
bentuk tubuhnya, payudaranyapun ikut
berkembang, khan proporsional.
Pernah nih, dia pakai bra-nya, mungkin udah
nggak muat kali, pentilnya kelihatan dibalik kaos
tipisnya. Wah istriku, langsung menegurnya.
“Kamu pakai bajunya yang sopan, dong Min,”
kata istriku. Mimin nama prt-ku.
“Habis punyanya hanya ini bu.”
Karena bra-nya ukuran untuk cup “A”, sementara
saat ini sudah mencapai cup “C”, jadilah seksi
banget gitu. Kita (aku dan istriku) tahu bahwa dia
tidak mengada-ada, soalnya anaknya memang
lugu (bukan lu-lu, gue-gue, lho), apa adanya.
Ditanya sama istriku kenapa kamu koq nggak
belanja bra baru dengan gajimu.
“Sayang bu, rencananya uangnya nanti buat
modal jualan di kampung aja, ya saya pakai apa
adanya saja,” jawabnya polos.
Ternyata dia punya rencana. Bila sudah tidak
diperlukan oleh kita lagi dia ingin wiraswasta,
katanya. Hebat juga pikirannya; kataku dalam hati.
Oleh sebab itu dia sayang banget dengan uang
yang dia peroleh. Uangnya ditabung di Bank
Capek Antri, dekat rumahku. Karena pekerjaannya
bagus dan rajin, istriku menghadiahkan beberapa
bra dan pakaian baru yang dia beli di pasar.
Seneng banget dia menerimanya.
Pernah suatu siang hari aku menemukan dia
sedang tertidur di ruang tamu sambil nonton
televisi, atau lebih tepatnya televisi nonton dia
tidur. Memang suasananya mendukung banget,
siang hari, capek habis mencuci dan menyetrika,
habis makan siang, hujan turun deras, sambil
nonton telenovela, yah udah telap - tidur lelap.
Dia nggak tahu kalau aku datang. Aku dan istriku
masing-masing pegang kunci rumah dan kamar
tidur, sementara istriku masih di kantor, aku
pulang untuk mengambil berkas yang tertinggal.
Tampak dia tidurnya pules banget. Hujan cukup
lebat, hingga suara jatuhnya air cukup keras.
Kuperhatikan roknya sudah tersingkap sehingga
tampak celana dalam yang kebesaran/longgar.
Kaki kirinya lurus sedangkan kaki kanannya
ditekuk dan agak melebar. Kuperhatikan itu khan
celana dalam istriku yang lama dan udah nggak
dipakai lagi, karena sudah berlubang di bagian
depannya; berlubang bukan karena tajamnya
rudalku, tetapi istriku pernah mens, terus tembus;
atau mungkin karena perekatnya yang terlalu
kuat, lama kelamaan bahannya menipis, nah aku
nyucinya terlalu kuat hingga berlubang, dan
nggak dipakai lagi oleh istriku. Aku nggak tahu
disimpan di mana dan akhirnya ditemukan oleh
prt-ku dan saat ini sedang dipakai.
Dengan celana dalam longgar dan berlubang itu
nampak belahan vaginanya yang bulat dan tak
terlihat labia minor-nya, karena usianya yang
masih belia, tampak beberapa bulu kemaluan
yang halus dan hanya beberapa lembar saja.
Pandanganku bergerak ke atas. Tampak bajunya
tersingkap ke atas juga. Bra-nya terangkat ke atas
sehingga cupnya tidak menutupi payudaranya.
Koq bra yang baru nggak dipakai? Itu khan bra
yang lama; mungkin tadi suasana sebelum hujan
lumayan panas hingga tanpa sengaja, tergerak
untuk mengangkatnya. Payudaranya lumayan
juga, nggak putih cuman mulus dan area sekitar
puting coklat muda, dengan puting coklat muda
sekali; mungkin lagi mekar-mekarnya, tampak
beberapa bagian berwarna pink. Jakun ku
bergerak naik turun.
Beberapa saat aku ingat, beberapa hari lalu saat
kedua mertuaku datang, istriku sedang
melakukan percakapan dengan ibu mertuaku
yang tak sengaja ku dengar.
“Kamu hati-hati sama babumu itu,” kata ibu
mertuaku yang mempunyai darah biru, nama
depannya masih menggunakan RA, dan bapak
mertua RM, sementara istriku Rr. Dia memang
agak nggak begitu senang dengan prt-ku, nggak
tahu kenapa. Makanya kalau ngomong suka kasar
banget sama prt-ku.
“Iya bu, tetapi namanya laki-laki bu, bisa aja di
rumah kalem penuh perhatian, kita nggak tahu
kalau di luar. Ibaratnya kalau sudah semeter
keluar rumah khan bujangan lagi” kata istriku, aku
tersenyum mendengarkannya.
“Betul itu, tetapi tetap kamu jaga, jangan sampai
pagar makan tanaman,” kata ibu mertuaku.
“Yah, kita sudah komit, saling percaya. Yah
terserah dia kalau mau menyalah gunakan
kepercayaan yang aku berikan,” jawabnya
diplomatis.
Akal sehatku ternyata masih berfungsi. Pilih
mana, “perang dunia ke tiga” atau “kenikmatan
sejenak”. Untung sering melakukan “pengeluaran”
di luar, sehingga dapat menahan laju nafsu
birahiku dan berpikir jauh. Segera aku ambil yang
kuperlukan dan kembali ke kantor. Sorenya
pulang dan seperti biasa lagi. Tapi memang dasar
otak kotor, tiap melihat dia, bayanganku selalu aja
ke kejadian tadi siang, sepertinya dia berjalan
telanjang!!!
Keesokan harinya, aku bangun dan terasa seger
sekali pagi hari itu, saat aku akan terlentang (aku
biasa tidur telungkup), koq ada yang licin di
kemaluanku. Belum sempet aku buka celanaku,
tampak di bedcover ada sesuatu yang basah,
piyamaku juga basah. Selagi bingung
memperhatikan yang basah-basah tadi, tiba-tiba
istriku sudah ada di sisi tempat tidur dan geleng-
geleng kepala, sambil njewer kupingku.
“Ngimpi sama siapa, he?” tanyanya.
“Eh eh, enggak jelas ma, wajahnya,” jawabku.
“Aku nggak tanya wajahnya, SIAPA
ORANGNYA?” tanyanya lagi, sambil menjewerku
lebih keras lagi.
“Iya, ampun, ampun, sama mama, baru aku
ingat, sama mama,” kataku berbohong. Aku baru
ingat kalau aku ngimpi sama prt-ku; GILA. Tapi
asli, susah banget merawaninnya, tapi dalam
mimpi, sampai-sampai karena susahnya belum
masuk udah keluar duluan - peltu gitu, yaitu yang
sekarang lagi basah semua ini - jangan-jangan
gara-gara lihat kemarin siang nih.
Memang sih udah lama aku nggak melakukan
hubungan “timsuis” (hubungan intim suami istri).
Akhirnya pagi itu juga aku dilayanin oleh istriku.
Ternyata enak juga yah, breakfast dalam bentuk
“timsuis”. Rasanya seperti robot miliknya
keponakanku yang baru diisi battery baru - Full
Power. Setelah selesai kita mandi dan kumasukan
semua pakaian kotor ke dalam ember pakaian
kotor dan ke kantor bersama-sama.
Akibat kejadian itu, istriku membuat kalender
“timsuis”, yakni setiap Kamis malam, dan Minggu
malam. Kecuali ada yang mendesak maka
dengan kesepakatan bersama dilakukan di luar
perjanjian, karena akan pergi melakukan
perjalanan dinas atau sebaliknya. Jadwal tersebut
tidak mengikat bila salah satunya kurang sehat
atau datang bulan, maka bisa dibatalkan.
Beberapa minggu, tidak ada kejadian yang
menarik, hanya kedatangan kedua orangtuaku
dan kedua mertuaku, hingga suatu hari istriku
menemukan pembantuku sakit dan membawa ke
praktek dokter terdekat. Pulang dari sana, masuk
ke rumah, aku dipanggil istriku dan diajak ke
dalam kamar tidur.
“Pa, Mimin hamil,” katanya sambil menatap tajam
bola mataku, penuh selidik.
“Lho koq bisa?” tanyaku.
“Ya bisa, dia khan udah mens, masalahnya di
rumah ini laki-lakinya hanya kamu,” katanya lagi.
Aku berpikir sejenak, masak sih, pakaian kotorku
waktu itu, setelah mimpi basah, kemudian dicuci
olehnya menyebabkan hamil. Ah nggak mungkin
lagi, khan udah mati benihnya terkena udara
bebas.
“Ngaku aja pa,” kata istriku, mengagetkan
lamunanku.
“Ngaku gimana, aku nggak ngapa-ngapain koq,”
kataku sambil tersenyum geli. Gimana nggak geli
ngelihat bola matanya memandangku melotot
seakan mau keluar, terlihat juga kilatan
cemburunya, mungkin sudah tingkat emosi.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak akan
menamparku. Segera aku tangkap, dan kupeluk
tubuhnya. Dia meronta-ronta. Aku jatuhkan dia
ke atas tempat tidur. Aku kunci tubuhnya.
“Aku jijik sama kamu, pa, jijik. Jangan sentuh
aku,” katanya mencoba melepaskan diri. Aku
longgarkan kuncianku. Segera dia melepaskan
dan pergi ke kamar mandi. Aku tahu, dia bukan
ingin buang hajat, tetapi melepaskan
kesedihannya di sana, menyembunyikan diri, dan
menguras air matanya, dan esoknya tampak
kelopak mata akan terlihat cekung -kebiasaan dia
dari gadis- aku tahu itu.
Aku bingung juga, nggak makan nangka dapet
getahnya. Segera aku temuin Mimin. Aku cari dia.
Ternyata ada di dalam kamarnya. Kupanggil agar
segera ke ruang tamu, kalau aku
mengintrogasinya di kamarnya, semakin berat
tuduhanku.
Setelah ke ruang tamu,
“Min, kamu melakukannya sama siapa?” tanyaku.
Aku lirik istriku sudah keluar dari kamar mandi,
dan berjalan ke ruang tamu dan ikut bergabung
dengan kita.
Bukannya menjawab, malah semakin deras air
matanya. Repotnya urusan sama wanita nih gini
ini, kalau udah terdesak, keluar deh air matanya.
Diajak dialog seperti apa juga jawabnya sama,
diam dan menangis.
Ya sudah. Aku tinggalkan mereka berdua. Aku
segera pergi ke kantor sendiri. Pulang kantor
suasana rumah nggak kondusif, nggak rame,
nggak ada canda. Makan sih bersama, nonton tv
juga, tapi semua diam, mana malam itu jadwal
“timsuis” lagi, apes. Tersiksa, jadi terdakwa, kalau
dilihat dari alat bukti sih udah jelas dia hamil, dan
penyebabnya pasti seorang laki-laki, dan di
rumah ini hanya aku laki-lakinya. Kalau orang luar
kemungkinan kecil mengingat dia jarang keluar.
Ya tapi aku khan nggak berbuat, ah pusing.
Aku mau tidur aja deh, mau masuk ke kamar
tidur, udah dikunci duluan, apes lagi deh.
Terpaksa tidur di sofa di depan televisi dan masih
menggunakan pakaian kerja.
Keesokan harinya, di sore hari aku lihat ada kakak-
kakak iparku datang. Wah nggak enak juga nih,
urusan dalam negri melibatkan pihak asing. Tetapi
demi kebenaran, nggak apa-apa deh, yang jelas
para orang tua nggak diundang. Nggak enak khan
udah tua masih aja ngurusin anaknya. Udah gitu
urusan ginian lagi, apalagi bila ibu mertuaku tahu,
habis deh aku disemprot.
Akhirnya kita berdialog. Dialog sesama lelaki itu
lebih nyaman walau kadang ada yang terbawa
emosi. Ada yang mutuskan aku cerai dengan
istriku dan aku disuruh tanggung jawab. Ada
yang usul lihat aja kalau udah lahir, test dna-nya,
pokoknya debat seru, bukan debat kusir.
Pada intinya aku bilang bahwa aku masih
mencintai istriku, dan aku nggak “berbuat”
dengan prt-ku. Aku kemukakan juga pendapat
kalau aku mau selingkuh buat apa sama prt-ku.
Memangnya di luar nggak ada yang “lebih baik”,
memangnya aku nggak punya “modal” untuk
berbuat; istriku malah melotot menatapku; biarin
habis kesel banget dituduh terus-terusan.
Akhirnya diputuskan, demi kemanusiaan biarin
deh prt-ku tetap kerja, dan biaya persalinan
ditanggung olehku. Khan sebagai terdakwa. Dan
nanti akan ditest dna-nya. Sementara itu tidak ada
percerian, tetapi tetap perang dingin. Jadi kita
menunggu proses persalinan saja.
Hari demi hari berlalu, dan hari ini, aku gajian.
Seperti biasa kalau gajian aku serahkan semua
buat istri, tetapi karena lagi perang dingin, aku
nggak serahin. Karena ada suara telpon, aku pergi
untuk mengangkat telpon di ruang keluarga dan
amplop gaji aku letakkan di meja rias di kamar
tidur. Sekembalinya dari telpon, eh tuh amplop
udah ilang. Kucari istriku sudah masuk ke kamar
mandi.
Segera aku periksa map keuangan rumah tangga.
Istriku selalu memasukkan uang gajian kita
berdua ke dalam amplop yang sudah disediakan
untuk pos-pos pengeluaran; mulai dari cicilan,
biaya telekomunikasi, biaya kesehatan, biaya
dapur, jajan, tabungan, asuransi, ngasih ortu
hingga biaya tak terduga. Kita memang sepakat
untuk disiplin anggaran, lebih boleh ke dugem,
kalau nggak ya di rumah aja. Anggaran dibuat
untuk satu tahun, dan disepakati bersama.
Setelah istriku selesai mandi giliran aku mandi. Uh
udah lama nggak “timsuis” ngeliat istri habis
mandi keluar dari kamar mandi hanya ditutupi
selembar handuk aja udah langsung protes nih
“adik”ku. Aku segera masuk dan mandi, sambil
mandi aku mikir, waktu aku letakkan amplop gaji
dengan masuknya uang ke amplop-amplop
pengeluaran, koq cepet bener yah. Dasar
perempuan, perang dingin sih perang dingin,
urusan uang mah tetap, disikat juga.
Kalau aku pikir-pikir, aku ini bayarnya bulanan,
bukan jam-jaman, tetapi sekarang bayar mah
tetep, makenya nggak, dasar apes. Yah udahlah
besok aja dimasturbasi. Tetapi memang kalau lagi
untung nggak kemana-mana. Paginya aku
wetdream lagi. Sebentar, aku replay dulu sama
siapa yah? Hah, sama bosku. Gila, diprogram aja
nggak lho. Oh, mungkin saat aku meeting
anggaran, dia menerangkannya aku nggak
konsen dan mikir ke yang lain, maklum udah
lama aku nggak “timsuis”. Karena lagi perang
dingin, jadi nggak dijewer lagi, dia hanya melirik
terus buang muka; dalam hatiku salah sendiri
kenapa nggak dikasih, khan jadi gini akhirnya.
Malamnya aku nonton tv, biasa bertiga, tetapi
yang bersuara hanya televisinya aja, sementara
tiga manusia matanya menatap televisi tetapi
nggak tahu ke mana arah pikirannya[a1].
Tak berapa lama istriku nggak kuat ngantuk. Dia
pergi tidur dan mengunci kamar tidur. Tinggallah
kita berdua. Aku coba untuk bicara dengan prt-
ku, aku kecilkan suara tvnya.
“Mimin, kalau kamu nggak mengatakan siapa laki-
laki itu, toh lama kelamaan akan ketahuan. Nanti
kalau bayimu lahir akan ditest darahnya, dan itu
bisa ketahuan siapa bapaknya!” kataku. Dianya
hanya menunduk diam.
“Min, coba lihat suasana rumah sudah nggak
enak khan, aku didiemin sama ibu, ibu menuduh
bapak, karena hanya aku sendiri yang laki-laki di
sini!” kataku. Dianya diam aja.
“Tolong bantuin aku dengan mengatakannya
siapa lelaki itu, Min,” kataku lagi. Dianya diam lagi.
“Kamu melakukannya sama tukang kebun
sebelah atau sopir di depan?” tanyaku. Dianya
diam aja. Capek ngomong sama patung, ya aku
diam aja, nanti kalau ditekan malah semakin
nangis.
“Saya takut pak untuk mengatakannya,” tiba-tiba
dia mengeluarkan suaranya, tetapi tetap
menunduk.
“Takut sama siapa?” tanyaku, berhasil juga
rayuanku.
“Takut sama ibu,” jawabnya, masih menunduk.
“Nah sekarang ibu khan udah tidur?” rayuku.
“Sama mbah kakung,” jawabnya dengan
tertunduk. HAAAHH.
“Mbah kakungnya bapak apa ibu?” tanyaku.
“Mbah kakungnya ibu!” jawabnya sambil
melihatku dan menunduk lagi.
“Kamu yakin?” tanyaku.
“Yakin pak,” jawabnya sembari mengangguk. Ah
lega lah, mungkin beberapa saat lagi aku akan
bebas dan dapat menikmati tubuh istriku,
senangnya, tetapi gimana mbuktiinnya yah?
“Bisa nggak kamu jelasin kejadiaannya?” tanyaku.
Dia diam aja, mungkin malu, atau pahit
mengenang kejadian itu.
“Kalau kamu keberatan yah sudah nggak apa-apa,
tetapi akan sulit untuk membuat orang lain
percaya padamu. Saat ini boleh dibilang kita ini
senasib, Min. Kamu merasakan kepahitan hidup
dengan hamil tanpa suami, sementara aku
dituduh berbuat sama kamu dan aku jadi
terdakwa,” kataku lemah.
“Waktu itu Mimin sedang membersihkan lantai,”
jawabnya tiba-tiba. Aku diam, menunggu
penjelasannya lebih lanjut.
“Mbah kakung sedang nonton televisi, mbah putri
sedang tidur di ruang tidur tamu (BO70: dia
sedang terapi, saat dia meminum obatnya maka
dia akan tertidur pulas; ada petir juga nggak
bakalan bangun; karena kata dokter dia harus
banyak istirahat). Saat saya membersihkan lantai,
dia merhatiin saya terus pak. Selesai
membersihkan lantai, Mimin mandi. Setelah
mandi, Mimin masuk ke kamar. Belum sempat
pintu kamar tidur Mimin tertutup rapat, tiba-tiba
mbah kakung masuk, dan Mimin “ditindih” di
kamar Mimin,” jelasnya tertunduk sambil
menangis, ingat kejadian itu.
“Kamu kenapa nggak ngelawan atau teriak?”
kataku.
“Udah pak, waktu itu hujan lagi lebat, lagian mbah
putri kalau tidur khan pules bener,” katanya
tertunduk, sambil menghapus air matanya
dengan ujung bajunya.
“Berapa kali sama mbak kakung?” tanyaku.
“Yah cuman sekali itu,” jawabnya malu-malu.
“Sakit nggak?” tanyaku. GOBLOK, ngapain aku
nanya yang kayak gitu, khan malu kalau wanita
ditanya soal gituan.
“Nggak,” jawabnya singkat sambil melihatku,
tampak sudah kering air matanya. Kaget juga aku
kalau dia mau menjawab.
“Cuman merasa jijik aja sama kumis nya yang
kasar, sama cairan yang menempel di sini,”
katanya lagi sambil mennunjukkan kemaluannya.
“Kamu sudah pernah melakukan seperti itu
sebelumnya?” kataku. “Belum pernah?” tanyaku
untuk memancingnya.
“Bener, apa nggak punya keinginan?” jawabnya.
“Nggak pak, Mimin lihat keluarga Mimin
berantakan seperti itu, makanya Mimin nggak
mau kawin dulu, trauma. Makanya saya senang
kerja di sini, biar nggak lihat suasana rumah di
kampung. Kalau uangnya kumpul dan Mimin
sudah nggak dibutuhkan Mimin mau dagang di
kampung, dan kontrak rumah sendiri,” Katanga.
Aku berpikir, dia disetubuhi hanya sekali, nggak
merasa sakit, ehh.
“Min, waktu kejadian itu kamu telanjang nggak?
Maaf Min aku nanya ini maksudnya sebagai bahan
untuk membela kamu, jadi kamu jangan salah
paham,” kataku.
Tidak segera dijawab, dia melihat aku dulu,
kemudian.
“Waktu itu khan habis mandi pak, mana sempat
pakai baju!” jawabnya. Oh iya yah, Goblok
kwadrat deh aku, maklum bentar lagi bebas jadi
terdakwa, jadi processor mmxku, ada sedikit
illegal operation.
“Mbah kakung…,” kataku terputus, gimana yah
aku njelasin, ah udah lah cuek, “memasukkan
kemaluannya ke ‘punyamu’ nggak?” tanyaku.
“Ya, dia berusaha pak, cuman karena saya
meronta, nggak keburu masuk, tapi nggak lama
saya merasakan ada cairan hangat yang
membasahi punya saya pak. Ih jijik,” jawabnya.
Kalimat terakhirnya hampir tak terdengar, euh,
mulai lupa deh sama sedihnya.
Duh, jawabannya polos banget, ndengerin dia
cerita, aku merasa geli ya ngaceng. Tapi dengan
demikian aku dapat gambaran yang cukup jelas.
Keesokan harinya, aku mencoba menghubungi
kakak-kakak iparku, dan melakukan rapat keluarga
lagi setelah pulang kerja. Pertama mereka
meragukan informasi yang aku berikan. Akhirnya
setelah melakukan pemeriksaan ke dokter terdekat
–sebelumnya Mimin menolak diperiksa selaput
daranya, bila dokternya pria, hingga kita berusaha
memenuhi keinginannya mencari dokter wanita.
Terbukti bahwa dia masih perawan– percayalah
mereka bahwa apa yang aku ceritakan adalah
benar. Sekarang tinggal bagaimana menceritakan
kepada istriku, yang jelas jangan kepada ibu
mertuaku, bisa kelenger dia kalau mendengarkan
berita ini. Juga kelanjutan nasibnya Mimin dan
melakukan konfirmasi ke bapak.
Akhirnya diputuskan bahwa untuk membicarakan
ke bapak melalui kakak iparku yang wanita,
sedangkan untuk istriku lewat kakak iparku yang
pria dan tertua. Untuk Mimin diputuskan dia tetap
tinggal denganku sedangkan bila selesai
persalinan anaknya diambil oleh kakak iparku
yang tertua yang kebetulan belum memperoleh
keturunan hingga kini.
Malamnya suasana mulai agak berubah. Yang
jelas istriku malu banget sama aku yang telah
menuduhku yang bukan-bukan, hingga dia pun
malu menegorku duluan. Walaupun posisiku
sudah menang tetapi bukan berarti semena-
mena. Aku coba berkomunikasi dengannya. Saat
malam aku mau tidur aku coba membuka kamar
tidur. Eh ternyata enggak dikunci. Ah sudah
lampu hijau nih.
Aku masuk dan segera ke tempat tidur. Aku
merayunya, berusaha memanaskan tubuhnya.
Aku belai, tanpa penetrasi kecuali diperintah,
foreplay selama mungkin, perlahan. Malam itu
kita melakukan hubungan “timsuis” nggak seperti
biasanya, layaknya malam pengantin baru saja,
maklum sudah hampir sebulan ini aku nggak
melakukannya, dan kita melakukannya hingga
beberapa kali. Memang rasanya lain bila
melakukan hubungan “timsuis” setelah berpisah
karena perjalanan dinas. Apalagi bila habis
bertengkar kemudian baikan lagi, rasanya bener-
bener meresap. Seperti ikan bandeng presto,
bumbunya meresap dan tulangpun jadi lunak,
bisa di mam lagi.
Akhirnya suasana rumah kita ceria kembali.
Hingga Mimin bersalin ibu mertua tidak
mengetahui kalau dia punya anak tiri, sementara
istriku senang sekali punya momongan, adiknya
yang terkecil (??); khan benih dari bokapnya. Tidak
ada itu namanya ANAK HARAM, semua anak
terlahir dengan SUCI.


Adult | GO HOME | Exit
1/1221
U-ON

inc Powered by Xtgem.com