watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

KEANGKUHAN

“Dan di saat ke-aku-an itu mulai menyerang dan
merontokkan segi-segi kemanusiawian-ku, maka
di saat-saat seperti itulah kelelakianku yang sejati
menyeruak dari persinggahannya dan
menyerukan keberadaannya.”
Surabaya, sepuluh tahun yang lalu
Pemuda Lee miringkan sedikit tubuhnya,
mengangkat dagunya, memastikan
kecakapannya terlihat nyata di depan cermin.
Sebentar kemudian tangannya sudah terlihat
sibuk menarik-narik ujung rambut yang semula
begitu rapi di keningnya.
“Kali ini dengan yang benar-benar fresh.” Dan Lee
tertawa dalam hatinya. Benaknya
membayangkan adegan-adegan mesum seperti
yang sering dilakukannya bersama gadis-gadis
binal itu. Yang sekarang sedikit berbeda. Kali ini
benar-benar orisinil.

* * * * *

Gadis lugu yang menunggu diajar.
Lalu Lee tersenyum setelah melirik bundel uang
dalam dompetnya.
“Cukup.” Ucapnya dalam hati. Meraih kunci mobil
dan melangkah keluar kamar. Lampu-lampu jalan
menjadi saksi bisu tekadnya yang menggebu-
gebu.
“Kali ini cukup seminggu.”
Dan menurutnya itu sudah terlalu lama. Tapi
okelah, untuk pemula.
“Sampai sang waktu menamparku, aku takkan
pernah bisa menyadari keberadaan takdir yang
akan menghampiriku.”
“Gia.”
“Lee.” Menjawab seraya tersenyum simpul,
pemuda itu merasakan kebanggaan itu
melambungkan harga dirinya. Memang, dia tak
pernah sekalipun dalam hidupnya berkenalan
dengan gadis di bawah rata-rata. Dan itulah juga
yang terjadi saat ini. Lee dan Gia di hadapannya,
gadis yang menantang birahi siapapun yang
melihatnya. Gadis yang baru saja ranum, yang
belum pernah terjamah oleh tangan-tangan usil.

* * * * *

Tapi Lee bukan pemuda sembarangan tanpa
strategi. Menurutnya gadis lugu hanya bisa
ditaklukkan dalam kepasrahan. Lain tidak. Untuk
itu dia harus ekstra hati-hati. Terutama saat
menyerahkan boneka beruang itu sebagai tanda
perkenalan. Dia tentu saja tak ingin gadis Gia
menolak hadiah perkenalannya, dan gadis
manapun –termasuk Gia– adalah tipikal gadis
biasa yang merona saat menerima hadiah boneka
beruang.
“Thanks, tapi tak perlu.”
“Tidak apa-apa, asal kamu bisa tersenyum.”
Dan Gia tersenyum. Tersanjung.
“Panah-panah asmara menjeratku,
mempermainkanku, bahkan aku tak pernah
tersadar dari mimpi-mimpi yang dirangkainya
dengan begitu indah. Dan sampai sejauh mana
aku bisa mempertanyakan ketulusannya, jika
yang kutahu hanyalah kebahagiaan saat-saat
kubersamanya?”
Gia belum pernah menemui pemuda seperti Lee,
yang menyanjungnya setinggi langit.

* * * * *


Membuatnya merasa diperlakukan sebagai
seorang wanita seutuhnya di usianya yang masih
tergolong remaja. Lee bisa membelainya dengan
mesra, mengungkapkan kehangatan itu dalam
sanubarinya. Lee bisa mendengarkan semua
keluh kesahnya selama berjam-jam tanpa
sedikitpun menunjukkan raut kebosanan, untuk
kemudian menghiburnya dengan kata-kata indah
semanis madu yang bisa membuatnya bermimpi
indah semalaman. Lee bisa membuainya dengan
lilin-lilin romantis makan malam di restoran
mewah dan hadiah-hadiah yang begitu bermakna
baginya.
Dan Gia tak kuasa menolak saat Lee mengecup
bibirnya seminggu kemudian.
“Jangan, Lee.”
“Maaf,” Lee menundukkan kepalanya dan
merautkan wajah bersalahnya yang paling tulus,
“aku sedikit kelewatan.”
Gia membenahi kancing-kancing bajuna yang
terbuka. Matanya berkaca-kaca saat menatap
kekasihnya dengan pandangan kebingungan.
“Maafkan aku, ya?” Lee mengangkat kepalanya
dan membenamkan wajahnya ke dalam dekapan
si gadis. Gia tak mampu melawan saat kepala itu
menempel di buah dadanya. Kehangatan air mata
yang mendadak membasahi seragam sekolahnya
begitu tulus. Air mata seorang pria yang penuh
penyesalan.

* * * * *

Tapi Lee tidak mengambil keuntungan terlalu
lama. Segala imagi negatif harus disingkirkan
terlebih dahulu.
“Ayo kita pulang.” Senyum mengembang di sela
air mata.
Gia mengangguk lemah. Menyandarkan
kepalanya di bahu kekasihnya saat kendaraan itu
melaju.
“Lalu perasaan itu datang dan merenggut
kewarasanku, membuatku seperti kehilangan akal
sehat yang selalu kubanggakan. Tapi kebanggan
itu secepat hilangnya secepat kembalinya. Dan
kebanggaanku adalah pada letak ke-aku-anku.”
Siang itu Lee mengeluh. Uang kiriman sudah
sangat tipis. Bahkan untuk membeli sebungkus
rokok terasa susah mengingat siang nanti ia
sudah berjanji dengan Gia untuk makan bersama.
Tapi namanya lelaki. Rokok dulu. Wanita
belakangan.

* * * * *

Dan Lee menimbang-nimbang suatu alasan.
“Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat, tapi
kamu jangan kecewa.” Lee berkata pada Gia usai
menjemput si gadis.
“Boleh.” Gadis Gia menjawab sekenanya.
Warung mie itu terlihat penuh sesak. Bau keringat
menyatu bersama udara bekas hujan yang
belum kering. Tapi Gia menghabiskan mie di
hadapannya dengan nafsu menggebu, hingga
Lee dapat melihat bulir-bulir keringat yang keluar
dari kening si gadis.
“Lee, kamu tidak makan? Mau disuapin, ya?”
Tapi Lee hanya terpana. Ia tak pernah melihat
kepolosan itu.
Baru sekali ini. Rencananya begitu berantakan. Ia
semula mengira gadis itu akan menolak lalu
akhirnya rencana makan siang mereka batal dan
ia bisa menghemat uang sakunya. Ternyata gadis
itu justeru menikmati makan siangnya dengan
gaya yang begitu mempesona. Mempesona?
“Ah, ya. Suapin, dong.”
Bahkan Lee tak menghiraukan reputasinya
sebagai anak bereputasi saat mata-mata sirik
memandangi tangan Gia yang menyuapkan mie
ke mulutnya. Ia begitu terpesona.

* * * * *


Tapi Lee hanya tertawa seusai mengantar Gia
pulang.
“Gadis bodoh.”
Keangkuhan itu masih sebegitu kuatnya.
“Waktu menghancurkan dan mengikis kebekuan
itu tanpa pernah disadari oleh pembawa cinta
yang tersembunyi. Tatkala lagu-lagu burung cinta
berkumandang yang ada hanyalah perasaan aku
dan dia. Bukan aku lagi seperti diriku sendiri.”
Lee merasa pusing, makalah itu lenyap ditelan
tumpahan kopi. Ingin rasanya ia menendang
kucing budukan tadi namun apa daya si kucing
lebih cepat menghilang.
Pemuda itu sekarang menekuni komputernya,
mencoba mengembalikan empat halaman penuh
kata-kata omong kosong yang sudah
dirangkainya seharian.
“Lee, aku sedang butuh kamu.”
“Wah, aku sibuk. Besok saja.”
Tapi justeru Lee melewatkan dua jam yang
berharga untuk menemani Gia menyelesaikan
tugas-tugas sekolahnya.
“Ini begini, dan ini begitu.”
Gia memandang wajah serius Lee sambil
tersenyum. Perlahan gadis itu mengecup kening
kekasihnya. Begitu mesra.

* * * * *

“Apa-apaan ini?”
“Aku sayang kamu, Lee.”
Dan Lee hanya bisa berkata, “Aku juga.”
Sejenak ingatan tentang makalah itu terbang
lenyap. Berganti kemesraan dan sentuhan
kehangatan. Gia membelai Lee dengan penuh
kasih dan membiarkan pemuda itu menyusupkan
jemarinya ke balik bajunya, memijat dan
meremas buah dadanya. Lee terengah dan
menikmati rangsangan yang mampir tanpa
rencana.
Tapi kenikmatan itu terhenti saat Gia mendorong
tubuh Lee menjauh. “Jangan kelewatan.”
Lee tidak mengumpat. Hanya tersenyum. Hanya
kebingungan.
Karena ia bukan seperti dirinya sendiri.
Tapi Lee masih mengeraskan hatinya saat kembali
ke dunia makalahnya yang sama sekali belum
terselesaikan sekata-pun.

kumpulan Cerita Dewasa Lainya, Dapat Anda Lihat & Baca Hanya Di :
www.ceritaindo.sextgem.com


“Aku hanya sedikit terlena.”
Benarkah itu, Lee?
“Ah Keangkuhanku. Begitu aku memujanya
setinggi langit dan bintang. Begitu aku
mempertahankannya dalam setiap desing mata
pisau yang mencoba meluluh lantakkannya.
Begitu aku mencabarkannya walaupun aku tahu
musuhnya adalah ambang kehancuran baginya.”
Tentu saja benar!!
Lee mulai merisaukan dirinya sendiri saat makalah
itu selesai. Satu bulan sudah sangat-sangat jauh
dari target yang sudah disiapkan. Dan Lee hanya
bisa mendapatkan bibir dan seremas dada.
Ah, Lee hanya sedikit `terlena’.
Hayo, Lee. Buktikan kalau kamu hanya terlena.
Kamu tidak ingin kalau sahabat-sahabatmu
seprofesi mentertawakanmu, bukan?
Lee mendenguskan udara dari hidungnya.

* * * * *

Mau bukti kalau itu benar?
“Gia, aku mungkin tak bisa ke rumahmu nanti
malam.”
“Tapi, Lee. Aku sudah masak semur lidah
kesukaan kamu.”
Huh. Mau membuatku terlena? Sori saja.
“Maaf, ya. Aku harus ke kampus sekarang.”
“Lee…?”
Klik. Dan Lee tersenyum puas. Kalau tidak bisa
mendapatkan yang lebih ya ditinggal saja.
Lagipula dada sudah merupakan medali
perunggu yang lumayan. Dan cara meninggalkan
yang paling menyenangkan adalah dengan
mencari masalah duluan. Jauhi.
Dan nanti malam dia bisa kembali ke pelukan
Resky.
Malam yang hangat dan dada telanjang. Lee
membiarkan gadis itu melumat kemaluannya.
Jemarinya menjambak rambut gadis itu.
Menggerakkannya ke atas dan ke bawah.
Beberapa saat kemudian Lee sudah menikmati
pergumulannya dengan Resky. Gadis itu
mengerang saat pemuda Lee menggerakkan
pinggulnya dengan lincah, menekan dan
menggesek, memenuhi liang kemaluannya
dengan kehangatan. Dan Lee tersengat saat
puncak rangsangan itu tak bisa dihadangnya.
“Gia…..”
Dan ia membayangkan sudut-sudut kamar yang
temaram. Sosok gadis yang meringkuk,
menangis meratapi ketidak hadirannya di atas
tempat tidur. Terisak. Bantal yang basah. Bahu
yang berguncang.

* * * * *


Mangkuk semur lidah di tempat sampah. Jadi
makanan kucing buduk.
“Gia….……..”
Lee melompat, membiarkan Resky terlena dalam
kenikmatan yang telah diberikannya pada gadis
itu. Secepat kilat diraihnya handphone dan
menelepon Gia.
“Kamu jadi ke sini? Tidak apa, ini kan masih pukul
sepuluh.”
`Tidak apa-apa?”
“Tidak. Lagipula semur lidahmu masih di kulkas.
Tinggal dihangatkan.” Entah mengapa Lee
merasakan kelegaan itu dalam hatinya.
Sangat lega.
Kucing buduk? Enak saja.
Dendam kopi belum lunas, Cing.
“Tanpa terasa sang waktu terus berlari,
meninggalkan rona pelangi yang mewarnai
kehidupanku dengan pola-pola abstrak. Pola-pola
yang memberikanku kenyamanan, semakin
melenakanku dalam buaiannya. Tapi sosok
keangkuhan itu tetap ada, entah mengapa.”
Gila. Sudah dua bulan berlalu. Tapi aku masih
belum juga memperoleh kemajuan apapun. Lee
mendesah dalam hatinya. Benaknya benar-benar
galau.

* * * * *

“Kok lama, Lee?” Salah seorang sahabatnya
bertanya.
“Katanya harus pelan-pelan.” Lee memaksakan
dirinya untuk tetap tersenyum. Walau tak dapat
disembunyikan bahwa senyuman itu palsu.
“Jangan-jangan kamu……..hahahahaha.”
Tawa yang menyebalkan. Tuduhan yang
ngawur.
“Enak saja. Siapa yang bilang begitu?”
Tapi Lee tersentak. Orang hanya marah kalau
yang dituduhkan padanya benar adanya.
Baiklah. Desis pemuda Lee sambi berjanji pada
dirinya sendiri.
Mari kita mengakhiri cerita roman picisan ini.
“Ah pemuda pecinta, seandainya engkau
menemukan sosok ketulusan itu dalam diri
penaklukmu…..”
“Jangan, Lee.”
“Maafkan aku, Gia.” Lee membalikkan tubuhnya
dan bersiap melangkah pergi. Kepalanya terasa
begitu pening. Lebih pening tatkala lengan gadis
itu memeluk kakinya.
“Jangan tinggalkan Gia sendiri. Please.”
Please. Kata yang tak pernah bisa ditahannya. Air
mata.
Lee mengeraskan hatinya, membiarkan gadis itu
terseret bersama langkahnya. “Lepaskan, Gia!”
“Tidak, Lee. Tidak……”
“Gia.”
“Aku salah apa Lee? Aku salah apa?”
Kamu tak salah, Gia. Aku yang salah karena
bertemu denganmu.

* * * * *

Lee mengeraskan hatinya. Gadis itu masih
terseret. Isak tangisnya.
“Lee….”
Pemuda Lee tak tahan lagi, membalikkan
tubuhnya dan memegang pundak si gadis Gia.
Keras dan setengah mencakar.
“Dengar Gia! Aku tidak mencintaimu. Aku hanya
bermain-main.”
Gia tersentak dan membeliakkan matanya yang
berkaca-kaca. Tiada sepatah katapun keluar dari
bibirnya yang bergetar. Lee mengangkat
tubuhnya dan meraih pegangan pintu.
“Lee….” Kedua lengan itu kini memeluk
pinggangnya.
Air mata membasahi pungungnya. Kehangatan
dan kesedihan.
Lee berhenti. Keraguan terbersit di hatinya.
Terenyuh. Tegakah ia?
“Kulakukan apapun asal kamu tidak pergi.”
Kali ini Lee yang tersentak. Apapun?
APAPUN???
“Wahai pemuda pecinta, apakah yang kaulihat di
balik bening bola mata penaklukmu? Nafsukah?
Atau kasih sayang dan ketulusan?”
Gadis Gia membiarkan pemuda itu
menelanjanginya, menciumi seluruh bagian-
bagian sensitif di tubuhnya. Pemuda yang
menggelutinya adalah kecintaannya, buah
hatinya. Kekasihnya. Lee mengeluh dan
mendesah di balik nafsunya.
Bibir Gia bergetar saat jemari pemuda itu
menyapu bulu-bulu kemaluannya dan meraba
bibir vaginanya yang perlahan membasah. Lee
merasakan ketegangan itu. Dia dapat mencium
bau keringat seorang perawan yang belum
pernah terjamah. Bau yang begitu harum dan
menggoda setiap syaraf birahi dalam tubuhnya.

* * * * *

Pemuda Lee menempelkan ujung kemaluannya
ke permukaan liang kehangatan si gadis Gia.
Bersiap menusuk dan merenggut keperawanan
itu.
Saat Lee melihat mata Gia.
Mata itu terbuka. Menantang penuh kepastian.
Lee menekan ujung penisnya.
Mata itu masih terbuka. Menantang. Pasti.
***
Musik masih mengalun, beberapa pemuda dan
pemudi masih bergoyang dengan asyik. Tapi Ray
sudah kehilangan pengaruh gin tonik yang sejam
lalu masih memanasi otaknya.
“Lalu?”
Bapak di hadapannya tersenyum. Senyuman
yang mengandung nuansa kegetiran disamping
kerutan di kening dan bawah matanya, menodai
jejak-jejak ketampanan yang masih tersisa.
“Sebentar, saya mau ke belakang dulu.”
Ray menghembuskan nafasnya. Lega karena
tense itu sedikit meregang. Dipandanginya tubuh
bapak yang baru dikenalnya satu setengah jam
yang lalu. Ray menatap gelas kecil di hadapannya.
Mendadak gin tonik itu tidak lagi terasa
menggoda.
Pintu kamar mandi membuka. Pemuda
berambut panjang itu menyusupkan kepalanya.

* * * * *

Tersentak melihat sosok yang membungkuk di
depan wastafel.
“Bapak……?”
Lee merangkul pemuda itu dan menumpahkan
seluruh kepedihan yang tersimpan sepuluh tahun
lamanya. Ray terbata. Tak mampu mengatakan
sepatah katapun.
“Bapak…..
Bapak meninggalkannya.”
Dan Lee hanya terisak.
Ia menceritakan kisah terpendam itu.
Kisah yang membuatnya berubah.
Kisah yang membuatnya meratapi kesepian
kehidupannya.
Karena pemuda ini begitu persis dengan dirinya.
Dan Ray sadar itu.
Sangat-sangat sadar, sampai kebingungan.
Café Pink, bersinar dalam derap musik dan
goyangan anak muda.
Tenggelam dalam kepedihan.
Seorang bapak yang pathetic.
Dan seorang pemuda kebingungan.
“Jika kesempatan itu melambai padamu, jangan
pernah lari dan menghindar. Karena kesempatan
itu berarti kebahagiaan ataupun penyesalan
…..untuk selamanya.”


Adult | GO HOME | Exit
1/1873
U-ON

inc Powered by Xtgem.com